Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghirup Eksistensi Budaya dan Kemurnian Alam Baduy di Tengah Gempuran Arus Modernisasi

Kompas.com - 06/04/2016, 19:20 WIB

"Yes!!" Saya berteriak dan melompat kegirangan karena akhirnya suami menyetujui untuk menemani saya ke Baduy.

Sudah dua minggu semenjak Kompasiana memublikasikan acara "Rayakan Kekhasan Baduy bersama Kompasiana dan Kompas.com" saya membujuk suami agar bisa menemani ke Baduy karena sudah berusaha mencari teman yang lain untuk pergi ke Baduy namun tidak ada yang bisa.

Kami berangkat ke Baduy hari Jumat kemudian pulang ke rumah pada Sabtu sore. Saya yakin pasti kunjungan ke Baduy menjadi sesuatu yang tidak akan terlupakan karena yang saya baca, alam Baduy sangat alami dan segar.

Bagaimana tidak? Suku Baduy sangat mempertahankan adat istiadat yang tidak lekang di tengah gempuran arus modernisasi. Kampung oppung (orang tua dari bapak saya) sebenarnya juga sangat jauh di pedalaman Sumatera Utara.

Namun, sejauh-jauhnya kampung tersebut tetap berbeda dengan alam Baduy. Sesegar-segarnya kampung oppung saya, masih ada asap motor, limbah detergen, dan asap rokok.

Suku Baduy itu sangat unik, tidak akan ditemukan di belahan dunia mana pun. Suku Baduy khususnya Baduy Dalam bila pergi ke mana-mana tidak pakai sandal, menolak listrik, pendidikan formal, bahkan tidak memakai pasta gigi, shampo, sabun mandi, atau detergen. Mau ke mana-mana hanya mengandalkan kaki tanpa sandal.

Eksotisme budaya dan kemurnian alam yang benar-benar membuat saya tergiur.

Akhirnya tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Jumat tanggal 1 April 2016 setelah menyelesaikan sedikit urusan keluarga, saya dan suami meluncur ke perkampungan Baduy menggunakan kereta yang menuju stasiun Rangkas Bitung.

Dari stasiun tersebut kami menaiki bus ukuran tiga perempat menuju Ciboleger yang merupakan pintu masuk perkampungan Baduy.

Tiba di Ciboleger sekitar pukul 3 sore kami harus melapor ke posko dan mendapat tawaran untuk dipandu tour guide. Saya setuju ditemani pemandu karena benar-benar buta wilayah Baduy.

Setengah jam setelah kami tiba di Ciboleger dan berdiskusi mengenai rute yang akan dijalani akhirnya hujan turun dengan sangat derasnya sehingga terpaksa harus berteduh dulu di rumah keluarga kang Uha (tour guide) kami yang juga terletak di daerah Ciboleger.

Hujan ternyata mengguyur cukup lama sampai sekitar pukul 18.30 WIB. Artinya tidak mungkin kami pergi menuju ke wilayah perkampungan Baduy yang bisa menempuh perjalanan empat sampai enam jam lamanya. Padahal saya berencana ingin menginap di wilayah Baduy Dalam. Namun apa boleh buat, cuaca tidak memungkinkan.

Saya pun akhirnya memutuskan untuk menginap di Baduy luar saja. Setelah makan malam di warung makan Ciboleger, pukul 19.30 kami menyusuri jalan dari Ciboleger menuju ke perkampungan Baduy luar.

Halaman:
Sumber Kompasiana
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com