Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kolam Alam Limbong, Wisata Toraja yang Terlupakan

Kompas.com - 30/07/2016, 06:00 WIB


“HUJAN!”. Prosesi wefie di tengah pematang sawah harus berakhir ketika langit mulai meneteskan bulir air hujan.  Berempat kami segera berteduh di parkiran roda dua kawasan wisata yang kami kunjungi, Kolam Alam Limbong.

Beberapa anak tangga telah menanti untuk didaki. Gapura dengan tulisan “Kolam Alam Limbong” dalam kesepiannya pun seakan mengucapkan selamat datang. Gayung bersambut, langit ikut mengurungkan niat untuk menumpahkan air lebih banyak lagi. Bak ritual penyucian diri dari para leluhur sebelum memasuki sebuah kuil.

Kami bertemu Mama’ Risto, panggilan sehari-hari Ibu Hermin. Kata "mama" dengan tanda kutip satu (mama') adalah cara penamaan khas Toraja yang akan diberikan pada wanita maupun pria yang telah memiliki anak. Kata Mama dengan tanda kutip akan diikuti dengan nama anak pertama, hal serupa berlaku untuk seorang ayah.

Ibu Hermin, selain menjabat sebagai penjaga loket, juga mencari nafkah dengan menjahit. Sebuah ruangan berpapan kayu dengan gembok kecil dibukanya, buku tamu disodorkan sambil mengambil satu bundel tiket masuk.

Terlihat beberapa model baju jahitan tergantung di sudut ruangan beserta sebuah mesin jahit listrik dengan setia menemani hari-hari ibu Hermin.  

“Teman yang satu tamu dari luar ya?” sambil menunjuk ke arah Sharanya Deepak, penulis muda dari India.

Cukup dengan satu lembar kertas Rp 10.000 untuk wisatawan domestik, sedangkan pengunjung mancanegara membutuhkan uang Rp 20.000. Mata uang bernol banyak, cukup rumit dan memusingkan bagi wisatawan mancanegara.  

Sepi. Pengunjung hanya kami berempat. Tak ada suara pekikan, tawa riang yang umumnya memenuhi suasana sebuah pemandian.  Kolam ini sebuah pemandian?

“Dulu airnya jernih, tidak seperti sekarang, warnanya hijau," kata Grace Bobonglangi memecah kesunyian dan lamunanku seakan bisa membaca pikiranku saja.

Kolam Alam Limbong dikelilingi tebing-tebing kokoh nan misterius. Suasana hening luar biasa serasa merasuk ke dalam jiwa memberikan kesan mistis. Namun, air tenang kehijauan berbau mistis katanya tak mengusik nyali anak-anak sekolah untuk melepaskan kepenatan mereka dengan menceburkan diri ke kolam.  

Sepeda air pink beratap biru begitu kontras dengan hijaunya kolam menanti dalam diam. Bocor. Waktu seperti berputar kembali ke masa SD sewaktu mengunjungi Selecta di Kota Batu, Jawa Timur.

Riuh rendah suara anak-anak tengah asyik bermain, tawa riang berpadu dengan suara gemericik air, jeritan kegembiraan yang memekik telinga  karena saling kejar-kejaran dengan sepeda air. Di sini hanya ada kesunyian.
 
Sudah sejak dua hari yang lalu kami berempat merencanakan trip singkat ini. Berempat kami menuruni tangga dengan hati-hati, sambil sesekali berfoto untuk mengabadikan kenangan bersama.

Gelak tawa kami terdengar jelas seakan mampu membangunkan tebing-tebing itu dari tidurnya. Mengunjungi dataran tinggi seperti Toraja, wisata alam Limbong bagaikan oase di tengah padang pasir. Tak banyak kawasan wisata di Toraja yang menawarkan wisata kolam alam.

“Ulat bulu!" seruku tiba-tiba. Teriakan kecil dari mulutku adalah gabungan rasa kaget dan sebagai peringatan bagi yang lain agar menjauhi besi pembatas tempat ulat bulu itu melenggak-lenggok.

Tak hanya satu tetapi di sini juga ternyata tempat ulat bulu berkoloni. Saya melangkah hati-hati dan menjaga jarak dengan besi pembatas agar tidak menyentuh binatang berbulu itu.

Dengan perasaan was-was saya melihat ke arah kolam. Sebuah sampan di pinggiran menanti pengunjung sambil menahan beban air yang penuh hingga ke mulutnya. Hampir tenggelam.  
Limbong berarti sumber air yang tertampung dalam bahasa Toraja. Konon di musim kemarau pun kolam Limbong tidak pernah mengalami kekeringan, bahkan di musim penghujan kolam Limbong mengalirkan airnya ke sawah-sawah.

Limbong juga dikenal dalam seni ukir orang Toraja: Pa’ Limbongan. Diambil dari nama Ne’ Limbongan, konon merupakan pencipta awal mula ukiran Toraja.

Suku Batak yang diyakini kuat masih satu rumpun dengan suku Toraja pun mempunyai kata Limbong dalam sejarahnya. Limbong Mulana, cucu Raja Batak. Berkunjung ke sana, desa bernama Limbong dapat ditemukan. Berlayar ke Melaka, Kampung Limbongan ada di sana.


Andi Candra Tongkonan di Tepi Kolam Alam Limbong
Suara alam dengan jelas terdengar dalam kesunyian di Limbong. Burung-burung bersahutan, saling tukar pantun dalam bahasa yang tidak dapat dimengerti. Pepohonan seirama arah angin sepoi-sepoi, sesekali kencang menghantam dedaunan yang terjun bebas menuju kolam.

Sepasang capung bersayap merah terbang gesit, bebas, sambil sesekali menukik tajam ke arah kolam. Beberapa ekor penghuni kolam, bersirip gelap  tidak segan menampakkan dirinya ke permukaan kolam, namun ada juga yang terlihat malu dan bersembunyi di antara bebatuan.

Hidup mereka jelas jauh lebih beruntung di sini, boleh beranak pinak dan konon ada yang sampai tua. Tak seperti ikan mas pada umumnya yang harus mengisi perut kelaparan di warung khas makanan Toraja.

Gazebo kecil untuk piknik juga disediakan dengan peringatan dilarang corat-coret namun tetap saja tidak mampu menahan tangan-tangan jahil. Ruang ganti hasil proyek pemerintah sebelum pemekaran Tana Toraja tak terawat dengan baik.  

Kulirik jam tanganku. Pukul 11.03. Namun tak ada tanda-tanda orang lain yang berkunjung.  Paling lama 15 menit berkendara untuk menuju ke sini. Jalanannya cukup baik dengan tanjakan, turunan yang terbilang cukup terjal. Tidak jauh dari pusat kota Rantepao.

Mungkin tak banyak yang tahu tentang Limbong. Seperti saya. Saya adalah penghuni kota Rantepao sejak tahun 1983, To Baba’ Toraya. Nenek laki-laki asli Tiongkok meminang perempuan Toraja dari Kantun Poya.

Di Toraja tidak mengenal panggilan Kakek, yang ada hanya sebutan Nenek baik itu untuk laki-laki maupun perempuan. Sedari kecil hanya mengunjungi tempat wisata yang terkenal dan itu-itu saja.

Ataukah ini sebuah usaha untuk mengobarkan kembali pariwisata Toraja yang sudah redup? Toraja seperti masih berada dalam bayang-bayang dampak bom Bali yang tercatat merenggut sebanyak 202 korban jiwa tahun 2002. Sudah 14 belas tahun telah berlalu, Toraja merangkak perlahan merengkuh kembali kejayaannya.

“Sebenarnya kolam alam limbong ada tiga," jelas Samuel Paseru, Sekretaris Kecamatan Lembang Limbong, seorang kawan lama, juga merangkap tetangga yang kebetulan berkantor di dalam kawasan wisata Limbong.

“Sayangnya kolam pertama sudah tertimbun lumpur, yang kedua belum dibersihkan dan aksesnya berbatu dan licin. Tapi justru kolam kedua menurut saya paling bagus, bentuknya seperti huruf S," lanjutnya lagi.

Samuel berbaik hati mengajak kami untuk mengintip kolam kedua yang dimaksud. Seperti sebuah lemari yang membawa Lucy ke dunia ajaib dalam kisah "The Lion, The Witch, and The Wardrobe", kolam kedua tersembunyi di antara tebing dan pepohonan. Tak bisa melihat dengan jelas bikin efek misterius semakin menyeruak.

Tak ada cerita tradisional yang berkembang tentang Limbong. Namun Samuel membenarkan ada seorang meninggal di sini. Bukan karena direnggut kedalaman kolam, tetapi sakit jantung yang dideritanya.

“Bukan karena tenggelam, tapi airnya dingin dan orangnya memang ada sakit jantung,” Samuel menjelaskan.

Sepeda air yang bocor, ruang ganti yang tampak kumuh, jalanan pendek menuju kolam ketiga Limbong, gazebo kecil penuh makian jeritan hati, serta homestay yang berubah wujud sementara menjadi kantor pegawai Lembang adalah bantuan pertama kali dari pemerintah sebelum pemekaran Toraja menjadi Toraja Utara dan Tana Toraja.

“Limbong sejak dari kita kecil sudah ada,” kata Samuel.

“Lekka Mama’ Risto, taun pira raka na den te Limbong e?" Samuel bertanya dalam bahasa Toraja pada Mama’ Risto yang sedang melantai dengan kain jahitannya. “O sudah lama, sejak bumi ini ada," jawabnya singkat sambil tersenyum.

"Kalau adik dapat kawan baru sayang, kawan yang lama dilupakan jangan." Lagu populer anak Trio Kwek Kwek, Soleram. Wisata baru pun bermunculan, diciptakan di Toraja, menepikan Limbong, menanti kepedulian pemerhati wisata.

Ngengat cantik bersayap kesana kemari, transformasi menakjubkan dari ulat bulu, spesies menggelikan. Gatal dan jelek rupa ulut bulu namun sanggup bermetamorfosa menjadi kupu-kupu indah menawan. Fase perubahan panjang dan menyakitkan namun dengan hasil akhir yang mengagumkan.  

Limbong boleh jadi seperti ulat bulu yang harus melalui transformasi agar terlihat menawan, atau hanya akan bernasib sama dengan sampan yang mengap-mengap di tepian kolam. Kutarik nafas panjang, menghembuskannya bersama harapan ke langit bersama kepakan sayap kupu-kupu cantik. Saatnya pulang. (Primalia Howarto/www.elmosphere.com)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com