CARA paling cepat mengenali kehidupan suatu tempat adalah melalui makanannya. Karena itu, sesaat sampai di Teheran, Iran, Minggu (7/8/2016), reaksi pertama adalah mencoba makanan setempat, setidaknya yang dianggap mewakili makanan asli.
Beruntung kami ditemani staf lokal Kedutaan Besar Indonesia di Iran. Dia langsung mengajak kami ke Moby Dick yang berada di daerah perkantoran, di tengah kota. Ternyata ini restoran cepat saji yang populer, terlihat dari antrean pembeli dan meja-meja yang hampir semua terisi.
Kebingungan menyergap ketika melihat deretan makanan di rak-rak. Apalagi di belakang mengantre pengunjung yang ingin segera makan siang.
Nasi ada bermacam jenis: putih, kuning, dan yang berwarna kehijauan oleh daun yang diiris halus. Pilihan jatuh pada nasi kuning yang mengingatkan pada rasa gurih santan nasi kuning di rumah.
Setelah nasi, kebingungan berlanjut saat melihat yogurt di mangkuk-mangkuk sup. Lalu ada buah zaitun yang diacar serta salad dari potongan timun, tomat dan irisan daun herba. Saya menghindar dari daging domba cincang panggang dan memilih salmon.
Kini tiba saat santap. Sambil menunggu datangnya ikan yang baru dipanggang saat dipesan, saya mencicipi nasi kuning. Alih-alih mendapat rasa manis-gurih, rasa masam yang terasa saat mengigigt buah merah.
Buah merah atau barberi, belakangan saya tahu, ada di berbagai macam makanan. Baru kemudian juga saya tahu orang Iran suka rasa masam. Itu muncul dalam bentuk susu asam alias yogurt, salad, jeruk nipis dan lemon, serta acar.
”Sishlik”
Yang selalu ada setiap kali memasan makan lokal adalah tomat dan timun (segar atau dipanggang), daun selada, acar zaitun hijau dan hitam, yogurt, jeruk nipis, kacang-kacangan, wortel serut, selada letus, keju, nasi dari beras yang ditanam di utara Iran, dan roti gandum bulat lebar tipis yang disebut san-gak.
Nasi adalah makanan penting di Teheran. Bulirnya panjang-panjang dan berbau harum, seperti beras basmati dari India. Seperti disebutkan, nasi disajikan dalam beragam tampilan.
Khusus nasi kuning, pewarnanya adalah safron, berasal dari benang putik bunga Crocus sativus yang dikeringkan. Pengetahuan pertama saya tentang safron justru dari buku tekstil karena safron juga digunakan untuk pewarna kuning pada tekstil. Harganya sangat mahal. Jadi, sebagai pengganti, dapat menggunakan kunyit, sama seperti nasi kuning kita.
Dengan bumbu yang lembut, rasa daging domba atau sapi menjadi menonjol. Tetapi, semua itu tergantung dari cara memanggang yang tepat.