Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aksa 7, Film Pendakian 7 Gunung Tertinggi di Indonesia...

Kompas.com - 17/10/2016, 21:33 WIB
Wahyu Adityo Prodjo

Penulis

LIMA PULUH KOTA, KOMPAS.com - Gunung demi gunung tertinggi di Indonesia telah didaki oleh ekspeditor Aksa 7. Dari ujung barat hingga timur Indonesia telah dilampaui demi sebuah karya yaitu film dokumenter.

Lima laki-laki dan satu perempuan berjalan bersama untuk menyelesaikan film dokumenter lewat Ekspedisi Aksa 7 sejak November tahun 2014. Demi mimpi-mimpi untuk memotret Indonesia dari dekat.

"Aksa 7 ini awalnya dari keinginan kita membuat film perjalanan pendakian. Kita memulai perjalanan ini dari barat ke timur Indonesia lewat mendaki gunung. Yang kita daki 7 tujuh gunung di Indonesia. Ya sebenarnya ingin mengenal Indonesia lebih dekat lewat film. Ada kehidupan masyarakat yang lain kita tidak kenal," kata penggagas Ekspedisi Aksa 7, Anggi Frisca atau kerap disapa Cumit ini kepada KompasTravel di Lembah Harau beberapa waktu lalu.

Perspektif tentang Indonesia dicoba untuk dihadirkan lewat sebuah film. Lewat enam pasang mata ekspeditor dan satu ekspeditor tamu di masing-masing gunung, realita-realita Indonesia coba direkam.

Enam ekspeditor Aksa 7 adalah Anggi Frisca, Jogie Khrisna Muda Nadeak, Yohanes Christian Pattiasina, Rivan Hanggarai, Wihana Erlangga, dan Teguh Rahmadi. Semua memiliki latar belakang yang sama yakni sinematografer asal Institut Kesenian Jakarta.

Dok. Aksa 7 Tim Aksa 7 berada di Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, Jawa Timur.
"Karena tiap masing-masing orang punya perspektif berbeda walaupun di tempat yang sama. Ketika mendaki ke Gunung Kerinci, saya melihat Kerinci jadi sesuatu yang bernilai ekonomi sekali. Namun, Teguh melihat sederhana saja. Ada satu kehidupan di daerah yang rela membuka pintunya masing-masing untuk tamu. Itu yang tak ada di Jakarta. Ini jadi perjalanan orang Jakarta mengenal Indonesia lebih dekat merasakan ada satu kehidupan yang lain di luar sana," cerita Cumit.

Ia mengatakan film dokumenter Aksa 7 sendiri bercerita tentang perjalanan ekspeditor memotret keadaan sosial budaya ekonomi di tujuh gunung Indonesia. Perempuan yang bertindak sebagai sutradara film Aksa 7 itu juga menyebutkan banyak hal-hal yang ditemui selama perjalanan pendakian tujuh gunung itu.

Dari mulai kehidupan ekonomi masyarakat yang belum terdampak oleh pariwisata gunung, cerita tentang pelestarian alam, dan juga tentang keselamatan pendakian gunung. Lewat perjalanan Aksa 7, ia pun belajar dari perjalanan bersama rekan-rekannya.

"Karena setelah melihat tujuh gunung di Indonesia dan bersama dengan masyarakat, rasanya Aksa 7 ini menjadi salah satu bentuk pengabdian untuk menyampaikan inilah Indonesia, inilah pariwisata Indonesia," tambahnya.

Ia pun membandingkan dengan keadaan pariwisata di luar negeri. Potensi Indonesia begitu luar biasa untuk pengembangan pariwisata.

Dok. Aksa 7 Tim Ekspeditor Aksa 7
"Kenapa Indonesia tak bisa? Padahal alam Indonesia sudah luar biasa keren. Kenapa kita lebih memilih menjual tambang, rela daripada kita mengolah destinasi wisata yang indah ini menjadi target pariwisata," jelasnya.

Ia pun berharap lewat film perjalanan yang memiliki pendekatan kisah nyata ini bisa merangsang berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat, hingga penggiat alam dalam mempromosikan dan mengelola obyek wisata gunung di Indonesia dengan maksimal.

Masalah-masalah yang Cumit temui selama perjalanan seperti sampah, tak terdampaknya masyarakat secara ekonumi, dan pengelolaan wisata gunung yang buruk bisa hadir langsung di masyarakat.

"Konsepnya Aksa 7 ini kan melihat, merasakan, dan bergerak. Cerita personal journey atau kisah nyata dari pendakian. Di film perjalanan pendakian ini akan ada gambaran masalahnya ada di pendakian, masalah ego kita, masalah kita bersama tim, bersama masyarakat, bersama pemerintah. Itu semua ada dan kita ramu di sebuah film. Personal journey ini jadi perwakilan banyak orang," papar Cumit.

Film perjalanan Aksa 7 sendiri berdurasi 90 menit. Rencananya film pendakian ini akan tayang pada tahun 2017.

"Setelah film ini tayang bisa diterima di bioskop karena film dokumenter belum punya tempat. Penontonnya bisa melihat perjalanan kami dan Indonesia, bahwa ini adalah sebuah proses. Masyarakat Indonesia bisa muncul rasa cinta dan bergerak dari kondisi Indonesia yang sekarang ini," ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com