Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

“Surga” Wakatobi Tak Melulu Bahari

Kompas.com - 03/11/2016, 18:50 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


KOMPAS.com – Wakatobi adalah “surga” bagi pecinta bahari. Pantai, lautan jernih, dan terumbu karang yang masih utuh, merupakan suguhan dari kerajaan laut yang teramat lezat bagi para penyelam. Namun, apakah hanya penyelam yang bisa menikmati “surga” ini?

“Wakatobi itu (bak) surga di zamrud khatulistiwa, tak cuma buat mereka (pecinta aktivitas bahari),” ujar Hilda B Alexander, wartawati yang juga gemar berkelana, Senin (31/10/2016).

Hilda pun bercerita, pesona Wakatobi juga datang dari keramahan alam dan warga setempat. Menurut dia, pendapat itu bukan hanya datang dari dirinya.

"Nice place and people around here are friendly," kutip Hilda dari Claudia Mauridfz, peneliti BlueVentures asal Guatemala yang dia temui saat bertandang ke Kaledupa, akhir bulan lalu.

(Baca juga: November-Desember ke Wakatobi, Jangan Ketinggalan Festival Ini!)

Kaledupa adalah satu pulau yang menjadi bagian penggalan nama Wakatobi. Tak banyak orang tahu, Wakatobi merupakan singkatan dari Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, empat pulau utama dari kabupaten di Sulawesi Tenggara ini.

Nah, yang juga tak semua orang tahu, Wakatobi punya pula banyak hal menarik selain soal bahari. Sebut saja soami, siapa pernah dengar sajian kuliner tersebut? Atau terbayang suguhan bulu babi di meja makan?

KOMPAS.com/HILDA B ALEXANDER Menu kuliner lokal yang dapat dinikmati para pelancong di Wakatobi, yaitu soami, kukusan bulu babi, kosea no-kaudafa, dan kentanidole.
“(Soami) ini kukusan singkong, jadi makanan pokok dan sumber karbohidrat warga. Bulu babi dikukus tanpa bumbu jadi protein hewani. Lalu, ada kosea no-kaudafa atau sayur daun kelor, sambal dabu-dabu, dan kentanidole alias nugget ikan,” cerocos Hilda soal salah satu menu santapannya saat di Wakatobi.

Untuk benar-benar kenal Wakatobi—tak cuma dari sisi bahari—beragam festival sudah ditetapkan pemerintah sebagai agenda rutin. Kekayaan budaya dan kuliner sudah pasti jadi menu dalam festival-festival ini.

(Baca juga: Buat Apa “Ngurusin” Pariwisata?)

Sampai akhir 2016, masih ada Festival Tomia pada 3-6 November 2016 serta Wakatobi Wonderful Festival and Expo (WWFE) pada 1-3 Desember 2016.

“WWFE merupakan puncak semua festival selama setahun,” kata PIC Destinasi Wakatobi dari Kementerian Pariwisata, Arie Prasetyo, Rabu (12/10/2016).

Bagi pegiat sosiologi dan pendidikan, Wakatobi punya pula sejumput cerita soal upaya memastikan anak-anak nelayan mendapatkan pengajaran. Soal ini, pelancong atau peneliti bisa menyambangi Desa Bajo Mola.

Di desa itu, ada Sekolah Maritim, khusus untuk anak-anak nelayan yang putus sekolah. Berbentuk rumah panggung seperti permukiman warga, sekolah ini memiliki karamba sebagai bagian dari pengajaran.

Pada jam istirahat, siswanya diizinkan memancing ikan untuk ditaruh ke dalam karamba tersebut.

“Nantinya, anak-anak yang berprestasi (di kelas) berhak mendapatkan hasil penjualan ikan (yang terkumpul) di karamba itu,” kata Pembina Sekolah Maritim, Samran, seperti dikutip Kompas.com, Sabtu (8/8/2015).

Masih soal belajar, Desa Bajo Mola juga menjadi peluang bagi pelancong belajar ilmu perbintangan dari penduduk lokal, yaitu Suku Bajo. Suku ini sedari dulu dikenal akrab dengan ilmu falak alias astronomi, sebagai bagian dari bekal mereka yang memang tumbuh dan besar di laut.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com