HAMBURG, KOMPAS.com - Semenjak kehadiran wifi dan smartphone segalanya serba mudah dan praktis. Era online merambah segala lini kehidupan, mempermudah kita memperoleh informasi update.
Berbeda dengan 20 tahun yang lalu, ketika saya masih muda belia di kota Brussel. Berkomunikasi via telepon rumah dengan keluarga dan sang pacar di Bali, harus bayar mahal hanya untuk 5 menit saja. Jeleknya lagi, kita tidak bisa melihat wajah secara live.
Sekarang serba praktis. Menggunakan facebook messenger, webcam, whatapps kita bisa melihat dan mendengar secara jernih dan lebih murah.
Pukul 5 sore di Bandara Brussels, saya sedang menunggu pesawat menuju kota Hamburg di Jerman. Menunggu tidak lagi membosankan, karena informasi update di media sosial beragam.
Akhir-akhir ini, saya sangat konsen dengan memasak. Mencoba berbagai resep, khususnya sayur-sayuran. Harap maklum ya pembaca, hidup di perantuan membutuhkan olahan kreativitas di segala bidang, termasuk kreativitas dalam memasak.
Singkat cerita, dalam hitungan 1 jam dari kota Brussel, saya telah tiba di kota Hamburg. Kota "mesra" di malam hari, "ramah" di siang hari.
Saya menyebut "mesra" karena banyaknya muda-mudi bermesraan di tepi Danau Alster, memadu kasih dalam riak suasana malam syahdu.
Kemudian, saya menyebut "ramah" karena terkesan dengan warga setempat.
Kejadiannya di saat saya kesasar menuju Museum Etnologi Museum für Völkerkunde Hamburg. Telepon saya low bat, saya memohon dicarikan taksi kepada warga Jerman yang kebetulan berada di sekitar saya.
Satu keluarga membantu dengan ramah, menunggu dan menelpon hingga sopir taksi datang.
Saya bersyukur ternyata banyak sekali orang-orang baik berada di sekeliling kita, atau barangkali ini merupakan kebetulan saja. Walaupun demikian kesan positif yang terjadi pada saya ini, sedikit tidaknya akan terkenang dhati selama-lamanya.
Kedatangan saya ke Hamburg sebagai pemain suling Bali atas undangan dari Juli Wirahmini Biesterfeld, sang ketua penyelenggara Pasar Hamburg.