Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melestarikan Amanat Astana Gede Kawali

Kompas.com - 04/05/2017, 20:08 WIB

ASTANA Gede di Ciamis utara dikenal sebagai bekas pusat pemerintahan Kerajaan Galuh sekitar abad ke-14 Masehi.

Di situs purbakala yang terletak di lereng timur Gunung Sawal itu ditemukan enam prasasti, tiga di antaranya berisi amanat karuhun (leluhur) Galuh yang dipelihara dan dilestarikan warga Tatar Galuh (Ciamis) hingga kini.

Peristiwa Pasundan Bubat dituturkan dalam naskah kuno Kitab Pararaton dan Kidung Sundayana. Perang itu terjadi pada masa Pemerintahan Prabu Maharaja Linggabuana atau Raja Sunda-Galuh yang berpusat di Astana Gede, Kawali.

Kala itu rombongan Kerajaan Sunda-Galuh mengantar putri Diah Pitaloka yang dipinang Raja Majapahit Hayam Wuruk.

Saat rombongan sampai di Bubat, Mahapatih Gajah Mada menyatakan bahwa utusan itu merupakan upeti penaklukan. Utusan yang dipimpin Raja Linggabuana menolak disebut sebagai upeti penaklukan sehingga terjadi perang Bubat yang mengakibatkan raja dan putrinya gugur.

”Kisah ini juga tertulis dalam naskah Wangsakerta, tetapi belum semua ahli sejarah mengakui keasliannya,” kata penulis Astana Gede Kawali, Djadja Sukardja (2002).

(BACA: Orang Sunda dan Jawa Bersatu di Purwakarta)

Naskah kuno Negarakertagama tidak menuliskan soal perang Bubat. Cerita perang Bubat, menurut Djadja, diduga merupakan bagian dari alat penjajah untuk mengadu domba suku-suku di Hindia Belanda.

Terlepas dari kontroversi perang Bubat, Kompleks Astana Gede berikut prasasti peninggalannya masih terpelihara dan dilestarikan oleh masyarakat hingga sekarang.

Bekas pusat pemerintahan Kerajaan Sunda-Galuh yang diteliti oleh pemerintah kolonial Belanda ini terletak di Desa/Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

(BACA: Air Mancur Sri Baduga, Keindahan Dunia di Tanah Sunda)

Situs purbakala yang berada di ketinggian 400 meter di atas permukaan laut ini berlokasi di areal hutan lindung seluas 5 hektar di lereng timur Gunung Sawal.

Menurut Tim Peneliti Academic Leadership Grant Universitas Padjadjaran, Bandung, yang dipimpin Guru Besar Sejarah Nina Lubis, Astana Gede merupakan peninggalan arkeologis Kerajaan Sunda-Galuh.

Sejak 2014, tim melakukan ekskavasi terhadap punden berundak di Astana Gede. Indikasi punden terlihat dari struktur batuan terasering pada beberapa undakan punden saat penelitian 28 Mei-3 Juni 2014.

Situs kuno

Astana Gede kini menjadi obyek wisata. Ketua Paguyuban Seniman dan Budayawan (Paseban) Jagat Palaka Kawali Daday Hendarman Praja (63) menyatakan, pihaknya bertugas memelihara kawasan situs, baik benda cagar budaya, budaya, maupun lingkungan, termasuk pohon-pohon dan sejarahnya.

Sebagai representasi dari masyarakat, Paseban secara swadaya melestarikan dan berupaya menjalankan amanat prasasti Kawali.

Namun, pada tahun 2000-an terjadi angin puting beliung yang menumbangkan ribuan pohon di hutan alam Astana Gede.

Pohon paling tua yang tumbang diperkirakan berusia 350 tahun. Pohon yang disebut pohon peusar itu tingginya 35 meter dan kayunya sangat keras.

”Ada 300 pohon berusia 150-200 tahun diterbangkan angin puting beliung hingga perkampungan warga,” ujar Daday.

Tahun 2001, Paseban Jagat Palaka menggerakkan masyarakat untuk menanam pohon di Astana Gede Kawali. Pemerintah Kabupaten Ciamis memasok ribuan bibit pohon.

KOMPAS/DEDI MUHTADI Mata air Cikawali di situs purbakala Astana Gede Desa/Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dikenal warga setempat sebagai bagian dari bekas pusat Pemerintahan Sunda Galuh pada abad 14. Mata air itu dipercaya sebagai petilasan pemandian putri Raja Galuh Diah Pitaloka yang gugur pada perang Bubat.
Penanaman pohon dilakukan secara bertahap. Hingga tahun 2015, ditanam sekitar 21.000 pohon berbagai jenis di kawasan petilasan Kerajaan Galuh seluas 5 hektar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com