BANYUWANGI, KOMPAS.com - Desa Gintangan, Kecamatan Blimbingsari, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur cukup lama dikenal sebagai sentra pembuatan kerajinan bambu.
Identitas bambu tersebut semakin kuat dengan Festival Bambu yang digelar selama tiga hari sejak 11-13 Mei 2017.
Pada festival yang masuk dalam agenda Banyuwangi Festival tersebut, dipamerkan produk kerajinan anyaman bambu serta karnaval dengan menggunakan kostum yang terbuat dari bambu.
(BACA: Saulak, Tradisi Pra-nikah nan Mistis Suku Mandar di Banyuwangi)
Kepala Desa Gintangan, Rusdianah, kepada KompasTravel, Sabtu (13/5/2017) menceritakan nama Gintangan berasal dari kata "Gontangan" yaitu alat untuk membawa air yang terbuat dari bambu.
"Saat itu Patih Sulung Agung dan pasukannya kalah berperang dengan Belanda dan mereka melarikan diri ke arah timur Bayu Songgon tempat perang berlangsung. Karena banyak prajurit yang sudah tidak kuat berjalan, Patih Sulung Agung meminta agar mereka berhenti untuk beristirahat," tutur Rusdianah.
Patih Sulung Agung kemudian meminta dua prajurit yang masih sehat untuk mencari air dan mereka menemukan "Banyu Panguripan" atau air kehidupan yang kemudian mereka masukkan ke dalam gontangan.
(BACA: Pecel Pitik Banyuwangi, dari Selamatan Naik Kelas ke Restoran)
Air yang dimasukkan ke dalam gontangan tersebut ternyata bisa menyembuhkan prajurit-prajurit yang terluka.
Ia mengatakan awalnya kerajinan bambu yang dibuat adalah alat-alat rumah tangga seperi bakul atau kukusan untuk menanank nasi.
Namun baru pada tahun 1980-an berkembang ke kerajinan yang lebih modern dan bervariatif seperti kap lampu, tempat tisu, tudung saji, hantaran hingga songkok.
Perkembangan kerajinan tersebut tidak lepas dari tangan kreatif Madrawuh, salah satu warga Desa Gintangan yang meninggal pada tahun 1999 di usia 70 tahun. Almarhum Madrawuh lah yang mengawali kerajinan modern di desa Gintangan.