Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kilang Tebu Tradisional yang Kian Langka dan Memesona

Kompas.com - 01/06/2017, 09:51 WIB
Silvita Agmasari

Penulis

LAWANG, KOMPAS.com - Tebu menjadi komoditas utama masyarakat Lawang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat sejak zaman penjajahan Belanda. Di air tebu dan peluh kerbau dulu masyarakat Lawang menggantungkan hidup keluarga mereka.

Kini peluh kerbau berganti menjadi suara bising mesin, tergerus zaman dan tuntutan kecepatan.

"Dari dulu dari zaman nenek moyang kami pakai kilang kayu ini. Tahun 80-an baru ada (mesin) besi. Orang yang bisa membuat kilang kayu ini sekarang hanya aku. Aku belajar dari mertuaku," kata Datu Penghulu Sati (68) saat KompasTravel mengunjungi kilang tradisional miliknya, Lawang, Sumatera Barat, Selasa (2/5/2017).

(BACA: Tidak Ada Rumah Makan Padang di Sumbar, Benarkah?)

Kilang tebu tradisional seperti milik Datu, memiliki ciri khas yang unik yakni penggunaan mesin penggiling tradisional. Mesin tersebut dibuat manual, dari dua batang potongan pohon nangka, yang diukir sehingga membentuk uliran.

KOMPAS.COM/GARRY ANDREW LOTULUNG Proses awal pembuatan gula merah tradisional di Lawang, Sumatera Barat, memilah batang tebu.
Uliran pada batang tersebut berbeda namun harus menyambung, sehingga dapat berputar sempurna ketika saling bersentuhan. Batang kayu tersebut digerakkan oleh kerbau yang terus berjalan membentuk lingkaran.

Perlahan Datu mengikat kain putih di mata Nyemos, kerbau miliknya. Kemudian ia memakaikan kacamata yang terbuat dari tempurung kelapa ke mata Nyemos.

Menurut Datu, jika mata kerbau ditutup maka ia akan terus bergerak. Benar saja usai ditutup matanya, Nyemos langsung berlari membentuk lingkaran.

"Pelan-pelan saja nak, pelan-pelan," kata Datuk sembari mengiring Nyemos.

Gerakan Nyemos menjadi penggerak kayu kilang. Di depan kilang, anak dan istri Datu memasukkan batang tebu yang dibelah dua. Ketika digencet, air tebu keluar turun ke ember penampungan.

"Pakai kayu memang lebih lama, paling jadi hanya 20 kilogram gula. Kalau pakai mesin bisa hasilkan 100 kilogram per hari, tetapi ini cara untuk melestarikan," kata Datu.

Saat ini ia memanfaatkan kilang kayu tradisionalnya tak hanya untuk menghasilkan gula. Proses yang tradisional dan terbilang eksotis ini dimanfaatkan oleh Datu dan keluarga sebagai bentuk daya tarik wisata.

KOMPAS.COM/GARRY ANDREW LOTULUNG Pembuatan gula merah tradisional dengan tungku api di Lawang, Sumatera Barat.
"Biasanya ada wisatawan dari Malaysia, Pekanbaru, Jakarta. Habis diperas tebunya, dimasak, orang orang bisa coba (gula merah)," kata Datu.

Namun pariwisata tradisional seperti yang dilakukan Datu juga mengalami tantangan. Selain harus menunggu musim ramai wisatawan, persaingan antar pelaku wisata juga terjadi. Alhasil Datu harus mencari cara untuk lebih banyak menarik wisatawan.

"Nanti aku mau bangun mushala, tempat makan, dan toilet juga. Usaha ini buat warisan anakku juga," kata Datu.

Kompas.com/Andreas Lukas Altobeli Pembuatan gula merah tradisional di Lawang, Sumatera Barat.
Bukan cuma proses pembuatan gula dengan kilang tradisional yang menarik. Selama dua jam mengamati Datu, keluarga, dan Nyemos yang bekerja, KompasTravel mendapati pekerjaan tradisional ini ternyata mengakrabkan pekerja dan wisatawan.

Tak seperti deru mesin yang memekakkan telinga, suara kilang kayu yang beradu justru menimbulkan perbincangan dan tawa.

Terakhir Datu meminta kami mencicipi kacang rebus dan gula merah yang selesai dimasak. Manisnya terasa seperti pertemuan dengan Datu dan keluarga. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com