JAKARTA, KOMPAS.com - Bubur ternyata tidak hanya sebuah kuliner biasa. Dalam masyarakat Jawa, bubur yang juga disebut jenang merupakan makanan yang memiliki banyak doa dan pengharapan mulia.
"Bubur terbagi jadi dua jenis, untuk konsumsi sehari-hari dan untuk keperluan ritual adat," ujar Murdijati Gardjito (75), Guru Besar dan peneliti pangan di UGM saat dihubungi KompasTravel, Sabtu (12/8/2017).
Dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang tersebar dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur, bubur atau yang juga disebut jenang untuk keperluan ritual budaya terdapat tujuh macam.
(BACA: Bubur Lemu seperti Buatan Gibran Bisa untuk Memulihkan Tenaga)
"Karena bahasa Jawa tujuh itu pitu, buat orang Jawa singkatan dari pitulungan, minta permohonan kepada Tuhan, minta pertolongan kepada Tuhan agar hajatnya dikabulkan," kata Gardjito.
Ketujuh bubur beserta tradisinya tersebut terdiri dari dua corak yaitu bubur merah dan bubur putih, yang mengalami perpaduan.
Ketujuh bubur ini adalah:
1. Bubur putih
Bubur ini hanya memakai garam, santan, dan daun salam. Disajikan kepada masyarakat seusai berkegiatan bersama. Sensasi wangi utamanya dari daun salam dan rasa gurihnya dari santan.
2. Bubur merah
Bubur merah di sini merupakan bubur yang diberi gula palma, yaitu gula yang terbuat dari tanaman palma seperti kelapa, siwalat, atau yang populer dari aren. Manis dan wanginya aren tentu akan menggoda siapa pun yang menyantapnya.
3. Jenang slewah dan pliringan
Keduanya merupakan campuran bubur merah dan putih sebelumnya. Bubur slewah sebagian sisinya puth, sebagian lagi merah. Sedangkan bubur pliringan menempatkan bubur putih di tengah bubur merah.
(BACA: Bubur Lemu yang Eksis Sebelum Indonesia Merdeka)
Filosofi dari keduanya ialah sebagai keseimbangan, ada siang ada malam, kadang senang kadang sudah, ada siang ada malam.