Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Bondan Winarno dan Kenangan Ransum Sop Kepala di Margahayu

Kompas.com - 03/12/2017, 12:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

 

Ada catatan lucu di bawah emailnya. “Saya akan menyediakan piring kecil dan sendok plastik, karena kita akan makan-makan di banyak tempat, jadi tidak perlu satu orang menghabiskan satu porsi. Nanti kekenyangan.”

Acara itu akhirnya terlaksana pada 4-6 Agustus 2017, berarti kurang dua bulan sebelum kepergian almarhum, Pak Bondan memandu jalan-jalan kuliner ke tempat-tempat makan khas di Semarang yang (tentu saja!) telah pernah ia ulas dalam tulisan maupun buku karena maknyusnya.

Rencananya yang rapi, termasuk dengan piring dan sendok-garpu plastik yang siap sedia dibagikannya, selalu dikenang oleh 11 orang peserta dari komunitas kami saat itu.

Saya sayangnya tak ikut serta, tetapi foto-foto dan ulasan di grup komunitas kami cukup bisa membayangkan bagaimana lezatnya urutan makan yang disantap. Juga, bagaimana detailnya Pak Bondan bercerita tentang sejarah makanan-makanan hasil olah tangan Semarangan itu.

Anda bisa meniru pilihan Pak Bondan Winarno ini kalau suatu kali ke Semarang. Wisata kuliner yang disusunnya saat itu, pasti bikin titik air liur. 

Dimulai dari Tahu Pong Jalan Gajah Mada, Spiegel Kota Tua, Nasi Goreng Babat Pak Hengky, Good Fellas Jalan Gajahmungkur, Wedang Kacang Tanah dan Tahu Petis Jalan Mataram, Soto Selan Jalan Depok, Blenyik dan Wedang Kembang Tahu di Pasar Prembaen, Asem-asem, Olor Goreng dan Kue Lekker di Warung Makan Koh Liem, Bandeng Kropok di Kampung Baron, Lontong Opor di Warung Makan Mbak Tum, Nasi Ayam Bu Pini di Gang Pinggir Pasar Semawis, serta Gudeg Abimanyu. Lalu, icip-icip kopi Tekodeko Koffiehuis.

Kita semua tahu ia ahli kopi dengan Kedai Kopi Oey-nya. Akhirnya, ditutup Sate Buntel dan lauk lainnya saat makan siang di Rumah Makan 29 Kota Tua, sebelum kembali ke Jakarta.

Hmmm... Maknyus kan?

Demikianlah Pak Bondan dalam kenangan saya, dan perpisahan di lobby Plaza Senayan itu, siang 24 Oktober 2017, akan selalu saya ingat.

“Selamat menulis ya Mel, sejak kemarin saya juga mulai menulis ‘Bedah Jantung Tanpa Takut’. Saya terus berjuang. Saya mengalami banyak pencerahan dalam sebulan ini,” senyumnya hangat, genggamannya kuat.

Selamat jalan, Pak Bondan, sahabat menulis kami semua...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com