Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Bondan Winarno dan Kenangan Ransum Sop Kepala di Margahayu

Kompas.com - 03/12/2017, 12:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto


RABU siang, 29 November 2017, saya sedang mempersiapkan bagian-bagian akhir buku saya yang akan naik cetak, ketika tiba-tiba banyak pesan masuk dari grup whatsapp Komunitas Penulis Penerbit Buku Kompas.

Isinya, sahabat kami Pak Bondan Winarno, meninggal dunia pada pukul 09.05 pagi di ruang ICU Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiunnn.

Kami semua bagai bermimpi di sing bolong, tak percaya. Kami masih ingat pesan WA panjang Almarhum pada 17 Oktober 2017, yang diawali dengan kalimat, “Saya ingin mengabarkan berita gembira...”.

Pesan tentang bagaimana bahagia dan bersemangatnya beliau karena keberhasilan operasi aorta dan katup jantung yang dijalaninya pada 27 September 2017.

Namun, setelah perjuangan rehabilitasi medik –saya sempat bertemu dan makan siang bertiga dengan Pak Chappy Hakim pada masa Pak Bondan masih melakukan terapi- Sang Khalik memanggilnya.

Almarhum jurnalis senior di berbagai media massa, wartawan karier di harian Sinar Harapan, mantan pemimpin redaksi ketika nama harian telah berganti menjadi Suara Pembaruan dan terakhir penulis buku soal kuliner Indonesia yang sangat produktif di Penerbit Buku Kompas.

Dalam barisan beberapa karya larisnya yang berjudul seri 100 Maknyus Masakan Indonesia ini, ia menulis dan mengangkat kisah-kisah kuliner Indonesia sekitar tahun 2000.

Kemudian, ia juga menggagas acara kuliner di televisi, hingga acara seperti ini menjadi amat digemari sekarang.

Menyukai detail, itulah yang menjadi citri utama ulasan-ulasan Bondan Winarno. Maka, jangan heran kalau ia bisa membagi cerita perkembangan kesehatan aorta jantungnya yang terkena pengelembungan (dilatasi), dengan sangat runut dan dalam bahasa yang mudah dicerna.

Anda sekalian saat ini bisa membaca sendiri kisah perkembangan penyakitnya yang telah tersebar di berbagai lini masa. 

Ransum Sop Kepala di Margahayu

Untuk saya, Pak Bondan Winarno adalah sosok hebat, maestro tulis-menulis, tapi rendah hati. Saya masih ingat ketika saya masih kroco, mahasiswa magang berumur 17 tahun di Suara Pembaruan dan tabloid Mutiara, saya melihatnya dari kejauhan dengan kagum. Ini toh Bondan Winarno yang tulisannya sering saya baca di Sinar Harapan sejak saya SD.

Bondan Winarno bersama peserta wisata kuliner di depan Soto Selan, Semarang.DOK. MULYAWAN KARIM Bondan Winarno bersama peserta wisata kuliner di depan Soto Selan, Semarang.

Koran Sinar Harapan memang koran kami di rumah. Ketika kelas akhir di SD, saya sudah ingat namanya wara-wiri di koran sore itu.

Dan kini, 30 tahun kemudian, ketika kami menjadi satu dalam sebuah komunitas penulis, Pak Bondan tak segan-segan membantu sumbang tulisan dalam buku Dari Capung sampai Hercules.

Judul buku yang akan meluncur dua minggu lagi ini, telah dipilih Yang Maha Kuasa dan almarhum untuk memuat publikasi terakhirnya yang berjudul, “Ransum Sop Kepala di Margahayu”.

Publikasi yang bukan saja menunjukkan tikungan hidupnya bertemu Marsekal Chappy Hakim pada umur 19 tahun, tetapi menunjukkan betapa lekatnya almarhum dengan dunia tulis-menulis ini.

Bahkan, menjadi anggota pandu (pramuka) pilihan dan akhirnya siswa pendidikan terjun payung (para) di Margahayu, Bandung itu, dilakukan dengan bermodalkan buah penanya.

Saya cuplikkan tulisan itu.

“Pada tahun 1969, saya beruntung mendapat ‘jatah’ untuk dilatih di Sekolah Para, Wingdik 002, Lanud Sulaiman, Margahayu, Bandung. Prosedurnya cukup sederhana. Saya mengirim surat ke Komandan Wingdik 002 AU (Wing Pendidikan 002 Angkatan Udara Republik Indonesia) di Margahayu.

Saya nyatakan bahwa saya adalah seorang anggota aktif Pramuka Angkasa di Semarang, pernah dipilih menjadi Kepala Regu Delegasi Pramuka Indonesia menghadiri World Boy Scout Jamboree di Idaho, USA, dan bercita-cita menjadi wartawan perang.

Dalam surat itu saya juga mencantumkan janji bahwa saya akan menulis ­­­pengalaman saya menjalani pengalaman berlatih terjun payung untuk dimuat di majalah dan surat kabar.”

(“Ransum Sop Kepala di Margahayu”, Bondan Winarno dalam Dari Capung sampai Hercules. Penerbit Buku Kompas, 2017).

Bagaimana ia sampai jatuh cinta pada pandu yang zaman itu organisasinya bernama Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI)?

Kelahiran Surabaya, 29 April 1950 yang kemudian pindah dan besar di Semarang ini menunjuk ayahnya.

“Ayah saya pelatih Pandu senior, bahkan melatih anggotanya di halaman rumah kami di Semarang,” ia bercerita siang itu, 24 Oktober 2017.

Latihan kepanduan itulah yang tampaknya membentuk karakter Pak Bondan. Terlihat bagaimana penulis investigasi kasus tambang emas bodong di Busang, Kalimantan ini jujur, ulet, mencintai detail. 

Menulis adalah hobinya. Selain seperti yang diceritakannya sendiri, ia berhasil ikut menjadi wakil Pramuka Angkasa yang latihan terjun para bersama para karbol pada tahun 1969 itu karena tulisan yang dikirimkannya kepada Komandan Wing Pendidikan 002.

Sampai-sampai (mungkin tidak banyak yang tahu) ia tak cukup puas hanya menjalankan tugas “resmi” media tempatnya bekerja, tetapi juga menjadi ghost writer untuk Pangkopkamtib Jenderal Sumitro. Dulu, tokoh kharismatik ini sering disebut sebagai “Sumitro Gendut”.

Ulasan yang dibuat Bondan tentang ekonomi-politik yang memakai nama Sang Jenderal kemudian muncul di mingguan Far Eastern Economic Review. Kita tahu, betapa sulitnya sebuah tulisan kolom dimuat di FEER pada edisi sekitar awal tahun 1970-an.

Kisahnya sebagai ghost writer inilah yang menemani makan siang di Tesate, Plaza Senayan siang itu.

Kembali kepada tulisannya, “Ransum Sop Kepala di Margahayu”, saya kagum pada kepiawaiannya membawa pembaca segala usia membayangkan kejadian di masa berpuluh-puluh tahun yang lampau. Ini juga kemampuan seorang jurnalis yang tekun.

 

Bondan Winarno bersama peserta wisata kuliner di Tahu Pong, Jalan Semarang.DOK. MULYAWAN KARIM Bondan Winarno bersama peserta wisata kuliner di Tahu Pong, Jalan Semarang.

Saya pilih bagian yang berciri tulisan seorang Bondan Winarno yang deskriptif dan menunjukkan kepiawaiannya menjelaskan ransum makanan yang sangat sederhan.

Ransum yang ia juga cicipi sendiri ketika menjadi siswa terjun (para) di Margahayu tahun 1969.

“Pada masa itu, AURI sedang mengalami masa “dianaktirikan”. Gara-gara keterlibatan beberapa perwira AURI dalam G30S/PKI, AURI mendapat stigma sebagai matra yang “condong ke kiri”.

Penganaktirian itu mengimbas pada kecilnya alokasi dana bagi AURI. Ketatnya anggaran dapat kami rasakan selama pendidikan di Margahayu.

Ransum atau jatah makanan kami sangat miskin. Nasinya dari beras yang di masa sekarang mungkin tergolong raskin atau rastra (beras untuk kaum pra-sejahtera). Lauk-pauknya pun sangat terbatas.

Kami jarang sekali mendapat daging. Menu populer bagi kami adalah sop kepala. Ini bukan sop kepala kambing. Sopnya sangat encer, kaldunya hampir tidak terasa. Sayur-mayurnya pun sangat sedikit.

Sop ini ditaruh di dalam panci besar yang mirip drum. Kami harus menciduk sendiri dari dalam panci itu. Setiap kali akan menciduk, saking beningnya sop, kami bisa melihat bayangan kepala kami sendiri di permukaan sop itu.

Demikianlah sop kepala yang hanya terasa garam dan ladanya.

Untuk menambah gizi, siswa membeli krupuk sendiri. Ada pula yang sengaja membawa abon atau sambal goreng teri sebagai lauk tambahan.

Setiap siang, selalu ada ibu sepuh yang perjualan krupuk. Plastik tempat krupuknya ditempatkan di samping drum sop kepala. Mereka yang memerlukan tinggal ambil krupuk sendiri, dan kemudian membayarnya pada ibu sepuh yang duduk di lantai serambi luar barak.

Tidak ada falsafah Darmaji (dahar lima ngaku hiji) ketika itu. Semua jujur, karena takut payungnya tidak mengembang.

Favorit saya adalah penjual gado-gado-gado dan combro, yang juga menggelar dagangannya di lantai serambi.”

(“Ransum Sop Kepala di Margahayu”, Bondan Winarno dalam Dari Capung sampai Hercules. Penerbit Buku Kompas, 2017).

Komunitas Penulis Penerbit Buku Kompas

Kami menyingkatnya dengan KP-PBK. Sebuah komunitas gayeng di Whatssapp yang juga bertemu berkala dalam diskusi bulanan, jalan-jalan atau buka puasa bersama. Anggotanya kini 91 orang penulis yang bukunya pernah diterbitkan PBK dalam berbagai tema.

Pak Bondan dengan sendirinya menjadi super senior –dalam ilmu dan umur- di kelompok kami ini. Super senior lainnya sebut saja: Pak Sayidiman Kartohadiprodjo, Pak Chappy Hakim, Pak Kiki Syahnakri, Ibu Dokter Nies Endang, Pak Ninok Leksono, Pak Peter Carey, Pak Daniel Dhakidae dan yang lainnya.

Sebagian besar kami berumur 40-an, walaupun ada juga yang masih berumur belum lagi 30 tahun. Saya, kebetulan menjadi bagian urus-urus kalau KP-PBK membuat acara bersama.

Dalam grup kami, sudah banyak usul Pak Bondan membuat wisata kuliner ke tempat-tempat yang diberi cap “Maknyuss” atau enak banget olehnya.

Sampai pada 8 Desember 2016 Pak Bondan melayangkan email rencana itu ke email saya. Judul emailnya “Wiskul PBK Semarang” yang direncanakan pada 10-12 Februari 2017, dengan rencana rapi jam per jam kunjungan ke berbagai tempat di Semarang yang bikin air liur menitik.

 

Bondan Winarno bersama peserta wisata kuliner di Tahu Pong, Jalan Semarang.DOK. MULYAWAN KARIM Bondan Winarno bersama peserta wisata kuliner di Tahu Pong, Jalan Semarang.

Ada catatan lucu di bawah emailnya. “Saya akan menyediakan piring kecil dan sendok plastik, karena kita akan makan-makan di banyak tempat, jadi tidak perlu satu orang menghabiskan satu porsi. Nanti kekenyangan.”

Acara itu akhirnya terlaksana pada 4-6 Agustus 2017, berarti kurang dua bulan sebelum kepergian almarhum, Pak Bondan memandu jalan-jalan kuliner ke tempat-tempat makan khas di Semarang yang (tentu saja!) telah pernah ia ulas dalam tulisan maupun buku karena maknyusnya.

Rencananya yang rapi, termasuk dengan piring dan sendok-garpu plastik yang siap sedia dibagikannya, selalu dikenang oleh 11 orang peserta dari komunitas kami saat itu.

Saya sayangnya tak ikut serta, tetapi foto-foto dan ulasan di grup komunitas kami cukup bisa membayangkan bagaimana lezatnya urutan makan yang disantap. Juga, bagaimana detailnya Pak Bondan bercerita tentang sejarah makanan-makanan hasil olah tangan Semarangan itu.

Anda bisa meniru pilihan Pak Bondan Winarno ini kalau suatu kali ke Semarang. Wisata kuliner yang disusunnya saat itu, pasti bikin titik air liur. 

Dimulai dari Tahu Pong Jalan Gajah Mada, Spiegel Kota Tua, Nasi Goreng Babat Pak Hengky, Good Fellas Jalan Gajahmungkur, Wedang Kacang Tanah dan Tahu Petis Jalan Mataram, Soto Selan Jalan Depok, Blenyik dan Wedang Kembang Tahu di Pasar Prembaen, Asem-asem, Olor Goreng dan Kue Lekker di Warung Makan Koh Liem, Bandeng Kropok di Kampung Baron, Lontong Opor di Warung Makan Mbak Tum, Nasi Ayam Bu Pini di Gang Pinggir Pasar Semawis, serta Gudeg Abimanyu. Lalu, icip-icip kopi Tekodeko Koffiehuis.

Kita semua tahu ia ahli kopi dengan Kedai Kopi Oey-nya. Akhirnya, ditutup Sate Buntel dan lauk lainnya saat makan siang di Rumah Makan 29 Kota Tua, sebelum kembali ke Jakarta.

Hmmm... Maknyus kan?

Demikianlah Pak Bondan dalam kenangan saya, dan perpisahan di lobby Plaza Senayan itu, siang 24 Oktober 2017, akan selalu saya ingat.

“Selamat menulis ya Mel, sejak kemarin saya juga mulai menulis ‘Bedah Jantung Tanpa Takut’. Saya terus berjuang. Saya mengalami banyak pencerahan dalam sebulan ini,” senyumnya hangat, genggamannya kuat.

Selamat jalan, Pak Bondan, sahabat menulis kami semua...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com