Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/02/2018, 12:07 WIB
Ni Luh Made Pertiwi F

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Dua tahun yang lalu, Indonesia sempat dilanda “demam” matcha. Matcha hadir di berbagai olahan makanan dan minuman yang disediakan kedai dan restoran di kota-kota besar di Indonesia. Sebut saja mulai dari minuman matcha latte sampai martabak matcha.

Namun, apa sebenarnya matcha itu? Ratna Somantri, seorang pakar teh, menyebutkan bahwa matcha adalah teh hijau bubuk dari Jepang yang dibuat dari teh khusus dan diolah dengan metoda khusus.

“Di Jepang, mayoritas orang minumnya green tea (teh hijau),” ungkap Ratna saat ditemui di Jakarta, Senin (29/1/2018). Ratna merupakan seorang konsultan teh, certified tea specialist, tea sommelier, dan penulis buku “Kisah & Khasiat Teh” dan “The Story in A Cup of Tea”, dan salah satu pendiri www.pasarteh.com.

(Baca juga : Selain Kopi, Teh Juga Bisa Diseduh dengan Teknik Cold Brew)

Jepang mengenal dua cara menanam teh, yaitu teh ditanam secara terbuka atau terkena sinar matahari langsung dan teh ditanam secara tertutup. Cara menanam dengan tertutup ini dapat menghasilkan teh-teh berkualitas tinggi.

Ratna menjelaskan teh yang ditanam secara tertutup hanya mendapatkan sinar matahari sekitar 10-30 persen. Hasilnya adalah daun teh dengan rasa dan aroma yang lebih unik juga warna lebih cantik. “Hijau daun jadi lebih terang,” kata Ratna.  

(Baca juga : Simak Cara Menyimpan Teh yang Benar)

Teh yang ditanam secara tertutup antara lain tencha dan gyokuro. Tencha kemudian ditumbuk hingga menjadi bubuk atau disebut matcha. Daun teh hijau dipetik biasanya dipetik pada awal musim semi yaitu pada awal April sampai awal Mei.

Proses pengolahan tencha dan gyokuro tak jauh berbeda. Pada gyokuro, daun teh dipilin hingga berbentuk jarum, sementara tencha tidak melewati proses daun yang dipilin.

Ratna menuturkan daun teh hijau dikeringkan dengan proses penguapan pada suhu tertentu. Pada proses tencha menjadi matcha, tulang daun teh hijau dihilangkan. Daun teh kemudian disimpan dalam guci pada suhu dan kelembaban tertentu. Lalu daun teh digiling secara perlahan dengan batu giling hingga menjadi bubuk halus.

Matcha erat kaitannya dengan tradisi upacara minum teh di Jepang. Ratna menuturkan mulanya teh diperkenalkan ke Jepang dari China pada masa Dinasti Tang yaitu sekitar 600-900 masehi. “Bentuknya powder (bubuk), tetapi tidak sama seperti matcha,” katanya.

Ratna Somantri, pakar teh, tengah membuat matcha latte,Kompas.com/Roderick Adrian Mozes Ratna Somantri, pakar teh, tengah membuat matcha latte,
Kemudian saat Dinasti Song, teh yang digunakan masih dalam bentuk bubuk dan cara penyajiannya dengan mengocok bubuk teh di cawan. Jepang masih mempertahankan cara penyajian teh tersebut dalam sebuah tradisi upacara minum teh.

“Sedangkan di China yang sebenarnya asalnya, sudah tidak ada lagi yang seperti itu,” ungkap Ratna.

Upacara minum teh ala Jepang atau chanoyu populer di tahun 1400-an masehi. Teh yang digunakan adalah matcha yang terkenal berkualitas tinggi.

Hingga saat ini, matcha tergolong teh mahal di Jepang karena kualitasnya yang tinggi. Namun, matcha sendiri memiliki beberapa grade (peringkat) kualitas. Tentu saja semakin berkualitas, harganya semakin mahal.

Sebagai gambaran, Ratna menuturkan matcha untuk upacara minum teh, harganya bisa sekitar Rp 400.000 untuk kemasan 40 gram. Harga matcha termurah yang biasa untuk kebutuhan masak (kitchen grade), di kisaran Rp 500.000 untuk kemasan 1 kilogram.

Ratna menambahkan, biasanya matcha yang dibuat dari daun teh yang dipanen awal musim semi menghasilkan matcha berkualitas. Tentu harganya pun jadi lebih mahal dibanding matcha hasil daun teh yang dipanen bukan pada musim semi.

Halaman Berikutnya
Halaman:



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com