TAKENGON, KOMPAS.com - Tiga wanita paruh baya cekatan mengaduk bu grieng di atas kompor gas. Dapur nan bersih itu menjadi tempat pengolahan penganan kahas Aceh tersebut puluhan tahun lalu di Desa Paya Tengoeh, Kecamatan Simpang Keuramat, Kabupaten Aceh Utara.
Suara hentakan sendok beradu dengan kuali menggema. Mereka terlihat santai. Sesekali bahkan tertawa.
Baca juga: Belanja Oleh-oleh Tape Ketan Kuningan, Ini Cara Bedakan Sudah Matang atau Belum
Penganan tradisional itu sungguh melegenda. Kini usaha itu diteruskan Munawir Ilyas, seorang guru dan wirausaha.
“Ini awalnya usaha turun temurun, sekarang saya yang kelola,” kata Munawir, Jumat (11/1/2019).
Baca juga: Sebelum Kue Artis, 8 Kue Ini Sudah Jadi Bintang di Kotanya
Bahan baku bu grieng yaitu nasi ketan yang ditanak. Setelah matang, nasi itu lalu dijemur. Setelah kering, barulah digoreng.
Lalu, hasil gorengan itu dicetak sesuai ukuran yang diperlukan. Bentuknya beragam, mulai bentuk bulat seperti bola, ada pula berbentuk bulat seperti piring.
Sedangkan untuk dijual ke pasar berkisar Rp 5.000 – Rp 20.000 per bungkus. Tergantung ukurannya.
Dia menyebutkan, bisnis kue nan manis itu bukan semata-mata urusan untung dan rugi. Namun juga mempertahankan tradisi.
Penganan itu disebar ke seluruh kabupaten/kota di Aceh. Mudah ditemui di sejumlah minimarket dan toko suvenir. Sehingga, wisatawan kerap menjadikan penganan ini sebagai oleh-oleh.
Dalam sehari, Munawir bisa memproduksi 100 bungkus. Omsetnya per bulan tembus Rp 10 juta.
Kue ini rasanya nikmat dan mampu bertahan sekitar sebulan. Bisnis Munawir ini terus bertahan di tengah gempuran penganan modern yang siap saji di Lhokseumawe.
“Ini masih menjadi penganan yang disukai oleh masyarakat Aceh dan luar Aceh,” pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.