Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasi, Pangan Pokok Nusantara yang Dibudidayakan Petani China

Kompas.com - 13/01/2019, 15:04 WIB
Vitorio Mantalean,
Wahyu Adityo Prodjo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - “Kejarlah ilmu hingga ke Negeri Cina,” begitulah pepatah yang kita kenal. Pepatah tersebut rupanya bukan isapan jempol.

Nasi yang telah menjelma pangan pokok sehari-hari sebagian besar orang Indonesia pun ternyata tak dapat dilepaskan dari ilmu-ilmu kuno Negeri China.

Memang, padi tidak seperti kedelai yang keberadaannya “diimpor” dari China. Sebelum dibudidayakan oleh orang-orang Tionghoa di era kolonial, padi hanya dimanfaatkan secara subsisten yaitu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.

Budidaya padi baru dikenal usai dipraktikkan oleh orang-orang Tionghoa, sejauh sejarah mencatat, di Banten pada awal abad ke-17.

Dikisahkan seorang Belanda, Edmund Scott dalam laporannya di tahun 1603-1604, keberadaan petani-petani China di Banten telah memulai metode budidaya padi dan lada untuk kebutuhan yang lebih luas.

“Orang-orang Tionghoa menanam, memupuk, sampai memanen tanaman lada dan padi,” tulisnya kala itu.

Scott menyebut, lada sangat laku sebagai komoditas ekspor. Sementara, padi dipakai untuk konsumsi seluruh kota.

Laporan Scott tersebut tertulis dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya (Jilid 2: Jaringan Asia) yang edisi terjemahannya terbit di Indonesia pada 1996, karya Denys Lombard.

Lombard yang banyak mengkaji sejarah negeri-negeri Asia itu bercerita, orang-orang Tionghoa zaman itu bukan pemegang monopoli, melainkan motor penggerak yang membawa teknik-teknik baru yang jauh lebih efisien.

Di abad ke-18, petani China mulai memperkenalkan metode penyemaian dalam baris-baris, agar petani dapat membersihkan rumput di sawah menggunakan bajak.

Tak hanya itu, para petani China memperkenalkan pembaharuan paling berarti dalam pengolahan padi, yakni model alat penyesah sebagai pengganti lesung tradisional.

Alat penyesah tersebut sanggup mengolah 500 pon (250 kg) beras per hari dengan dibantu oleh 3 ekor lembu, jauh lebih efisien ketimbang lesung tradisional yang memerlukan tenaga manusia dan hanya mampu mengolah 100 pon beras per hari.

Penemuan itu dicatat seorang Belanda bernama Jan Hooyman sekitar akhir tahun 1740-an (Hooyman menulis, “sekitar tiga puluh tahun lalu” pada artikelnya yang terbit tahun 1779).

Sontak, penemuan ini berhasil membuat persediaan pangan di Batavia semakin gemuk. Imbasnya, VOC ketiban pulung karena beras hasil pengolahan dengan cara tersebut laku dijual dengan harga 15-20 persen lebih mahal.

Produktivitas padi pun melesat. Alat penyesah baru tersebut dengan cepat menyebar dan menggantikan lesung-lesung tradisional di berbagai daerah sekitar Batavia, pun di wilayah-wilayah pedalaman, dan terus dipakai untuk masa-masa berikutnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Aktivitas Wisata di Bromo Ditutup mulai 25 April 2024, Ini Alasannya

Aktivitas Wisata di Bromo Ditutup mulai 25 April 2024, Ini Alasannya

Travel Update
Bali Jadi Tuan Rumah Acara UN Tourism tentang Pemberdayaan Perempuan

Bali Jadi Tuan Rumah Acara UN Tourism tentang Pemberdayaan Perempuan

Travel Update
Hari Kartini, Pelita Air Luncurkan Penerbangan dengan Pilot dan Awak Kabin Perempuan

Hari Kartini, Pelita Air Luncurkan Penerbangan dengan Pilot dan Awak Kabin Perempuan

Travel Update
Usung Konsep Eco Friendly, Hotel Qubika Bakal Beroperasi Jelang HUT Kemerdekaan RI di IKN

Usung Konsep Eco Friendly, Hotel Qubika Bakal Beroperasi Jelang HUT Kemerdekaan RI di IKN

Hotel Story
Ada Women Half Marathon 2024 di TMII Pekan Ini, Pesertanya dari 14 Negara

Ada Women Half Marathon 2024 di TMII Pekan Ini, Pesertanya dari 14 Negara

Travel Update
5 Tempat Wisata di Tangerang yang Bersejarah, Ada Pintu Air dan Makam

5 Tempat Wisata di Tangerang yang Bersejarah, Ada Pintu Air dan Makam

Jalan Jalan
Dampak Rupiah Melemah pada Pariwisata Indonesia, Tiket Pesawat Mahal

Dampak Rupiah Melemah pada Pariwisata Indonesia, Tiket Pesawat Mahal

Travel Update
4 Tempat Wisata di Rumpin Bogor Jawa Barat, Ada Curug dan Taman

4 Tempat Wisata di Rumpin Bogor Jawa Barat, Ada Curug dan Taman

Jalan Jalan
Rusa Jadi Ancaman di Beberapa Negara Bagian AS, Tewaskan Ratusan Orang

Rusa Jadi Ancaman di Beberapa Negara Bagian AS, Tewaskan Ratusan Orang

Travel Update
5 Rekomendasi Playground Indoor di Surabaya untuk Isi Liburan Anak

5 Rekomendasi Playground Indoor di Surabaya untuk Isi Liburan Anak

Jalan Jalan
Pilot dan Pramugari Ternyata Tidur pada Penerbangan Jarak Jauh

Pilot dan Pramugari Ternyata Tidur pada Penerbangan Jarak Jauh

Travel Update
Desa Wisata Tabek Patah: Sejarah dan Daya Tarik

Desa Wisata Tabek Patah: Sejarah dan Daya Tarik

Jalan Jalan
Komodo Travel Mart Digelar Juni 2024, Ajang Promosi NTT ke Kancah Dunia

Komodo Travel Mart Digelar Juni 2024, Ajang Promosi NTT ke Kancah Dunia

Travel Update
Tips Pilih Makanan yang Cocok untuk Penerbangan Panjang

Tips Pilih Makanan yang Cocok untuk Penerbangan Panjang

Travel Tips
Harapan Pariwisata Hijau Indonesia pada Hari Bumi 2024 dan Realisasinya

Harapan Pariwisata Hijau Indonesia pada Hari Bumi 2024 dan Realisasinya

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com