Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/01/2019, 08:06 WIB
Vitorio Mantalean,
Wahyu Adityo Prodjo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengaruh China seakan menancap dalam kuliner Nusantara. Saking kuatnya, kadang pengaruh ini tidak disadari karena telah dianggap makanan lokal.

Keadaan ini sedikit berbeda dengan, katakanlah, pengaruh masakan India atau Thailand yang relatif lebih mudah disadari.

Pertanyaannya, mengapa pengaruh China bisa berbaur sedemikian dalam pada khazanah kuliner Nusantara?

Baca juga: Mengenal 8 Mazhab Utama Kuliner China

Salah satu jawaban paling mudah ialah besarnya diaspora China di negeri ini. Penelitian Poston dan Wong,The Chinese diaspora: The current distribution of the overseas Chinese (2016) mencatat, lebih dari 8 juta penduduk keturunan China menetap di Indonesia. Jumlah ini setara dengan 20 persen diaspora China di seluruh dunia.

Lebih dari itu, keturunan China menyebar ke berbagai pelosok negeri, mulai dari Medan, Bangka, Pontianak, Semarang, sampai Manado. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah diaspora China terbesar sejagat, menurut penelitian tersebut.

Arus migrasi diaspora China ke Nusantara telah terjadi sejak era perdagangan. Awal abad ke-20, arus migrasi ini kembali terjadi menyusul gejolak yang terjadi di China antara kalangan nasionalis dan komunis.

Meresapnya pengaruh China dalam kuliner Nusantara pun dipermudah dengan terjadinya asimilasi. Peradaban China yang selangkah lebih maju membawa teknik-teknik baru.

Siomay Telkom, siomay legendaris di Kota Yogyakarta. Tribun Jogja/Hamim Thohari Siomay Telkom, siomay legendaris di Kota Yogyakarta.
Akibatnya, jenis makanan yang dibawa pun tergolong baru dan serta-merta diadopsi oleh penduduk lokal, seperti teknik budidaya tebu (menghasilkan arak), pengolahan kacang (menghasilkan minyak nabati), dan pengolahan makanan berbahan tepung (menghasilkan mi, kwetiau, dan sebagainya).

Baca juga: Nasi, Pangan Pokok Nusantara yang Dibudidayakan Petani China

Di sisi lain, kekayaan tanah Nusantara pun menyediakan aneka bahan makanan yang tak ditemui di China. Ditambah dengan keunikan selera Nusantara, jadilah modifikasi kuliner China yang disesuaikan dengan lidah lokal, semisal kecap manis.

“Kecapnya dikenalkan imigran, tapi kecap manisnya asli Indonesia. Di China tidak ada kecap manis,” sebut pakar kuliner peranakan China, Aji Bromokusumo.

“Siomay dari yang asli dari China pakai kulit dan parutan wortel di atasnya. Di Bandung, siomay malah tanpa kulit. Mi Aceh juga sama, minya dari China, bumbunya lokal. Fleksibel sekali,” tambahnya.

Luwesnya penerimaan pengaruh China ini pun tampak dari segi penyebutan jenis makanan. Meskipun kerap terdapat salah kaprah, tetapi orang-orang Indonesia cenderung menyerap langsung penamaan jenis makanan yang dibawa orang-orang China, seperti kwetiau (dari kata “guo tiau”) atau lumpia (dari kata “lun pia”).

“Penyebutan ‘mi’ (dari kata “mian”) pun hanya ada di Indonesia awalnya. Baru-baru ini saja Malaysia dan Singapura ikut memakainya,” terang Aji.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com