WONOSARI, KOMPAS.com - Memasuki Dusun Jeruk Legi, Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, di sekitar pekarangan rumah penduduk terdapat belasan hingga ratusan batang tumbuhan lidah buaya.
Warga setempat mengembangkan tumbuhan lidah buaya yang tumbuh hampir di semua pekarangan untuk wisata edukasi.
Berada di sisi utara Gunungkidul, Desa Katongan bisa ditempuh sekitar 20 menit perjalanan dari pusat Kota Wonosari. Setelah sampai di kantor Kecamatan Nglipar, ambil arah timur atau menuju ke Desa Katongan. Sebagian rumah berbentuk limasan, dengan pekarangan yang masih luas.
Sejak setahun terakhir, warga di sana memberanikan diri mengembangkan desa wisata edukasi minat khusus tentang tanaman lidah buaya, hingga pengelolaanya.
"Wisata edukasi mulai dikembangkan dari awal 2018. Awal mula ada agen wisata yang bertanya tentang wisata edukasi yang menyediakan dari hulu sampai hilir atau mulai budidaya sampai pengolahan sampai menikmati hasilnya," kata salah seorang pengelola desa wisata, Alan Efendhi, saat ditemui di rumahnya, Jumat (15/2/2019).
Di Gunungkidul, tutur Alan, sangat jarang tempat wista edukasi dari hulu sampai hilir.
"Setelah beberapa agen wisata berkunjung ke sini, baru mulai dikenal. Saat ini setiap bulannya ada enam sampai tujuh instansi berkunjung ke sini, dari lokal disini, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur," ucapnya.
Baca juga: Sejumlah Obyek Wisata di Gunungkidul Akan Punya Wifi Gratis
Sejak 2014, Alan nekat membeli bibit lidah buaya jenis Aloe Chinensis Baker dari Sidoarjo, Jawa Timur. Saat itu dirinya masih bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta. Saat itu ibunya, Sumarni menanam sendiri bibit yang dibeli anaknya di sekitar rumahnya.
"Awalnya ibu saya kaget, tetapi mau bagaimana wong sudah dibeli," katanya.
Saat itu dirinya mengajak warga untuk ikut menanam, namun ditolak. Setelah itu tahun 2016 warga mulai ikut menanam karena hasilnya bagus, dan sudah mulai produksi minuman dan kripik berbahan dasar lidah buaya.
"Bahan baku minuman itu sederhana, hanya daging lidah buaya, untuk pewarna dari daun pandan dan suji. Pemanisnya dari gula batu, dan untuk saat ini belum bisa awet hanya tiga sampai empat hari. Semua bagian lidah buaya bisa diolah, dagingnya hingga kulit dan bunganya. Mulai minuman, kripik, dodol, hingga teh celup yang berasal dari kulit. Bahkan lendirnya bisa membuat sabun. Saat ini kami baru minuman dan kripik," ucapnya.
Alan menjelaskan, di sana pengunjung bisa melihat budidaya lidah buaya hingga belajar membuat minuman dan produk lainnya. Ibu-ibu yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) pun bisa menjelaskan dengan baik mengenai tanaman lidah buaya. Saat ini sudah ada 100 orang ibu-ibu yang ikut terlibat dalam kegiatan tersebut, 25 di antaranya tim inti.
"Mereka terlibat dari hulu hingga hilir," ucap Alan.
"Promosi kita masih sebatas media sosial yang ada, jadi belum maksimal," ucapnya.