BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Oppo

Menengok Tokyo, Saat Budaya Tradisional Berkelindan dengan Modernitas

Kompas.com - 15/08/2019, 19:15 WIB
Anissa DW,
Kurniasih Budi

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Lampu lalu lintas baru saja berubah merah beberapa detik lalu. Saat mobil, bus, dan motor sudah berhenti, dalam sekejap ribuan pejalan kaki tumpah ruah memenuhi jalanan, menyeberang ke tempat tujuan masing-masing.

Ketika lampu berubah kembali menjadi hijau, para pejalan kaki itu sudah hilang dari tengah jalan dan mobil-mobil kembali melaju seperti biasa.

Itulah pemandangan sehari-hari di salah satu persimpangan besar di kawasan Shibuya, Tokyo, Jepang. Diperkirakan, setiap menitnya ada lebih dari dua ribu orang menyebrangi persimpangan itu. Tak heran jika kawasan Shibuya dijuluki sebagai wilayah tersibuk di dunia.

Selain dijuluki sebagai kawasan tersibuk, Shibuya juga menjadi pusat fashion dan kultur anak muda di Jepang. Dari sana kemudian lahir tren mode dan hiburan terkini di Jepang.

Bagaimana tidak? Di Shibuya, barang-barang fashion bisa dengan mudah didapatkan dari puluhan department store yang siap menyambut berbagai jenis pembeli.

Fashion unik Harajuku

Saat berbicara tentang ‘pusat fashion dan anak muda’, Jepang juga memiliki kawasan lain yang tak kalah ikonik dari Shibuya, yakni kawasan Harajuku. Jika di Shibuya menjadi pusat fashion trendi, maka Harajuku merupakan pusatnya anak muda berpakaian unik.

Suasana Harajuku yang ramai dengan anak mudaNational Geographic Indonesia/Didi Kaspi Kasim Suasana Harajuku yang ramai dengan anak muda

Salah satu titik utama budaya anak muda di Harajuku adalah Takeshita Dori (Takeshita Street), yang dipenuhi oleh toko-toko trendi, butik mode, hingga beragam gerai makanan cepat saji.

Di jalanan itu pun dapat dengan mudah dijumpai orang berlalu lalang dengan berbagai macam gaya busana tidak biasa.

Para penganut fashion Harajuku biasanya gemar memadukan busana warna-warni, potongan rambut futuristik, dengan beragam aksesoris mencolok. Perpaduan gaya ini kemudian mendunia dan dikenal dengan sebutan ‘Harajuku Style’.

Suasana masa lampau di Asakusa

Nah, jika ingin menikmati suasana berbeda dari kota Tokyo, Anda bisa bergeser ke distrik Asakusa. Berbeda dengan Shibuya dan Harajuku yang menjadi pusat modernisasi, di sini suasana masa lampau masih kental terasa.

Di distrik yang kerap disebut ‘kota tua’ itu, masih banyak kuil-kuil peninggalan zaman Edo, yakni era kepemimpinan para shogun di Jepang selama 265 tahun, dari tahun 1603-1868.

Di Asakusa, masih banyak kuil peninggalan periode Edo, yakni era kepemimpinan para shogun di Jepang selama 265 tahun, dari tahun 1603-1868.National Geographic Indonesia/Tito Rikardo Di Asakusa, masih banyak kuil peninggalan periode Edo, yakni era kepemimpinan para shogun di Jepang selama 265 tahun, dari tahun 1603-1868.

Salah satunya adalah kuil Sensoji, kuil tertua dan paling populer di Tokyo. Meski terhimpit bangunan modern dan pencakar langit Tokyo, kuil yang dibangun pada abad ke-7 ini tetap setia dengan sejarah dan tradisinya.

Beragam spot menarik pun dapat dijumpai di kompleks kuil itu. Salah satunya adalah gerbang Kaminarimon, yang menjadi pintu masuk kawasan kuil. Gerbang raksasa berwarna merah ini memiliki lentera besar dengan berat sekitar 700 kilogram.

Tak hanya di dalam kuil, kentalnya budaya tradisional Jepang sangat terasa hampir di setiap sudut distrik Asakusa. Misalnya, saat melewati Nakamise Street, yang menghubungkan gerbang depan dan lorong utama kuil Sensoji, terdapat beragam kios penjual makanan tradisional Jepang.

Kalau belum puas hanya dengan melihat-lihat kuil, pengunjung dapat menyewa kimono dan berkeliling Asakusa dengan menggunakan jinrikisha, yakni becak tradisional Jepang yang ditarik dengan tenaga manusia.

Tak lengkap rasanya berkeliling Asakusa jika tidak mengabadikan keindahannya dalam bentuk foto. Namun, untuk bisa menangkap keindahan masa lampau di kawasan tersebut, dibutuhkan kamera mumpuni. Kamera OPPO Reno 10X Zoom, misalnya.

Jinrikisha, becak tradisional Jepang yang ditarik menggunakan tenaga manusiaNational Geographic Indonesia/Didi Kaspi Kasim Jinrikisha, becak tradisional Jepang yang ditarik menggunakan tenaga manusia

Dengan kamera utama beresolusi hingga 48MP yang didukung sensor Sony IMX586, diafragma f/1.7, serta sensor sebesar setengah inci, warna-warni cantik di Asauka dapat direkam lebih jelas dan menaik.

Pasalnya, semua fitur itu dapat meningkatkan sensitivitas lensa terhadap cahaya untuk mengambil gambar beresolusi tinggi dengan jernih.

Selain itu, lensa wide angle dengan sudut ultra lebar pada kameranya mampu memberikan perspektif baru untuk komposisi foto dengan tangkapan gambar yang lebih luas. Melalui fitur ini, kemegahan kuil Sensoji dapat tertangkap sempurna.

Bahkan, dengan adanya teknologi 10x Hybrid Zoom, smartphone itu sanggup menangkap gambar begitu jernih hingga 10 kali perbesaran hybrid , serta mampu memberikan perbesaran digital hingga 60 kali.

Tak ketinggalan, smartphone ini juga memiliki Dual OIS (Optical Image Stabilization) pada kamera utama dan telephoto. Fitur tersebut memberikan kestabilan yang membuat foto perbesaran 10 kali lebih stabil dan fokus.

Dengan begitu, semua keindahan dan keberagaman di Shibuya, Harajuku, dan Asakusa dapat terekam dengan baik.


Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com