NADI kehidupan jalanan Bali berdenyut kembali setelah dua tahun lamanya harus tunduk pada pembatasan keimigrasian.
Penghentian penerbangan komersial yang awalnya direncanakan hanya sementara, sejak April 2020, ternyata berlangsung hingga Februari 2022.
Selama bulan pembukaan penerbangan tersebut, persentase jumlah penumpang yang dilayani naik 148 persen, yakni sebanyak 387.574 penumpang dibandingkan periode Februari 2021.
Sebagai daerah yang banyak menyandarkan perekonomian pada pariwisata, Bali kembali jadi mandala pesta untuk para tamu mancanegara.
Bali yang hening kembali jadi Bali yang bising. Meski demikian, sebagian orang malah menyambutnya dengan semringah.
“Senang lihat Bali macet lagi,” begitu kicau mereka. Sebuah kicauan sujud syukur, meski ngawur.
Saya mengerti maksud kicau tersebut sebenarnya gurau. Namun tabik sugra, orang dengan jenis sesat pikir macam apa yang bergurau lewat euforia atas kegagalan penguasa menata ruang publiknya?
Kalau kata orang Bali, pola pikir ini sudah sakit gede!
Saya ingin menceritakan bagaimana kehilangan seorang kawan untuk selamanya. Namanya Agus Eka.
Dalam setiap kesempatan di hari libur, mengayuh sepeda jadi kesibukan paling rutin untuk dinikmatinya. Hampir setiap Minggu, hingga berhenti pada 17 November 2018 lalu.
Ia meninggal akibat bertabrakan dengan bus saat bersepeda di kawasan Nusa Dua.
Maka ketika hasrat bersepeda masyarakat Indonesia jadi melonjak saat pandemi Covid-19, saya berharap besar ada gayung bersambut dari pemerintah.
Sayangnya, alih-alih peningkatan infrastruktur seperti pembangunan jalur sepeda, yang meningkat justru jumlah kendaraan bermotor.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali menyebutkan ada kenaikan sekitar 180.000 jumlah kendaraan sejak tiga warsa terakhir.
Lebih rincinya, ada sebanyak 4.510.791 jumlah kendaraan dalam kategori bus, truk, sepeda motor, dan mobil penumpang yang terhitung pada 2021. Bahkan ada sejumlah kendaraan lain yang tak terdata.