Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gurgur Manurung
Tenaga Ahli Komisi VI DPR RI

Alumni Pasca Sarjana IPB Bogor bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Masyarakat Lokal Terabaikan dalam Pembangunan Wisata, Kasus Danau Toba

Kompas.com - 19/07/2022, 11:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA akan menjadi tuan rumah pertemuan G20 tahun 2022. Salah satu isu penting yang diangkat dalam pertemuan G20 kali adalah investasi hijau. Indonesia dan pemimpin dunia yang tergabung dalam G20 bertekad untuk mengurangi emisi untuk menyelamatkan bumi. Komitmen pembangunan berkelanjutan dibicarakan.

Bagaimanakan praktik di lapangan terkait pembangunan berkelanjutan, terutama dalam aspek sosial budaya masyarakat kita? Sejauh mana, misalnya, negara melindungi budaya penduduk lokal dalam pembangunan seperti Kawasan Wisata Prioritas di Indonesia? Pemerintahan Presiden Jokowi telah menetapkan lima destinasi wisata super prioritas yaitu Danau Toba (Sumatra Utara), Borobudur (Jawa Tengah), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), dan Likupang (Sulawesi Utara). Bagaimana posisi masyarakat lokal di lima daerah tersebut? Apakah pemerintah pusat dan daerah mempersiapkan masyarakat lokal? Proteksi apa yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat lokal?

Baca juga: Berbicara di KTT Pembangunan Dunia, Jokowi Sebut Indonesia Terbuka untuk Investasi Hijau

Dari aspek sosial, dengan dijadikannya lima daerah itu sebagai destinasi wisata super prioritas, dapat dipastikan akan terjadi perubahan budaya. Perubahan budaya terjadi karena dampak perubahan ekonomi dan terjadi adaptasi masyarakat lokal terhadap perubahan status dari wilayah pertanian ke wilayah wisata. Perubahan budaya petani ke budaya sadar wisata.

Fakta dari lapangan menunjukkan terjadi kegamangan, bahkan terjadi perlawanan dari masyarakat karena tidak ada kejelasan akan masa depan mereka.

Kasus dari Danau Toba

Di Desa Sigapiton dan Desa Motung, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba, Sumatra Utara, misalnya, kehadiran pemerintah pusat yang diwakili Badan Otorita Danau Toba (BODT) mendapat penolakan masyarakat lokal karena cara BODT memperoleh lahan sekitar 500 hektar. Pemerintah pusat mengklaim lahan itu merupakan hutan lindung.

Sementara masyarakat lokal menganggap lahan itu lahan nenek moyang mereka secara turun temurun, diperkirakan sejak 350 tahun lalu. Indonesia belum merdeka nenek moyang mereka sudah hidup di Sigapiton dan Motung. Bukti otentiknya berupa kuburan, rumah, parit, dan berbagai benda budaya yang sudah turun temurun ada di wilayah itu.

Namun di lapangan, dengan mudahnya pemerintah mengatakan lahan itu adalah lahan negara karena berstatus hutan lindung. Karena berstatus hutan lindung maka negara diwakili Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) memberikan lahan itu ke BODT untuk dibangun hotel, lapangan golf, dan berbagai kebutuhan wisata.

Rakyat Desa Sigapiton dan Motung, serta pemerhati lingkungan dan sosial bertanya-tanya, mengapa selama ini ketika rakyat Sigapiton mengambil kayu untuk kebutuhan sehari-hari, mereka dilaporkan Dinas Kehutanan ke polisi? Bukankah sejak dulu nenek moyang mereka bebas mengambil kayu dari hutan itu? Sebelum BODT datang, masyarakat Sigapiton menerima penjelasan Dinas Kehutanan Toba bahwa mereka dilarang mengambil kayu dari hutan karena hutan akan memberikan mereka sumber air. Warga lalu menjaga hutan bersama Dinas Kehutanan Toba.

Rakyat kini mempersoalkan, saat pemerintah pusat melalui BODT tiba-tiba hendak mengeksploitasi lahan hutan itu karena akan diberikan kepada investor. Mengapa hutan lindung itu boleh dieksploitasi oleh investor tetapi  oleh rakyat biasa tidak boleh, bahkan untuk sekedar mendapatkan kayu bakar?

Apakah ini yang disebut investor hijau? Seperti apa investor hijau itu? Jika kita gunakan akal sehat, sampai kapan pun cara-cara sperti ini tidaklah dapat diterima masyarakat lokal dan manusia yang rasional.

Baca juga: Labuan Bajo Jadi Destinasi Wisata Super Prioritas, Sayur dan Buah di Hotel Masih dari Luar Daerah

BODT hanya menawarkan harga tanaman rakyat yang ditanam dilahan itu seperti kopi, jagung, dan berbagai tanaman rakyat lainnya. Pertanyaannya, jika tanaman mereka dibayar pemerintah bagaimana kelanjutan hidup mereka? Bagaimana dengan masa depan anak-anak mereka? Mata air mereka akan mati karena hutan yang dulunya dipelihara rakyat akan menjadi hotel, lapangan golf, dan keperluan lain. Di mana posisi masyarakat lokal dalam kehadiran pembangunan kawasan destinasi wisata super prioritas?

Dalam menyusun analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), perdebatan yang sengit di tim penyusunan AMDAL adalah paradigma antroposentris dengan ekosentris. Dalam konteks destinasi wisata Danau Toba apakah antroposentris atau ekosentris? Rasanya yang kental kelihatan adalah proyeksentris.

Terkait proyek BODT, dua warga lokal menjadi terpidana karena membakar rumput dan kayu-kayu kecil dari lahan pertanian mereka saat mereka hendak bercocok tanam di lahan yang diklaim sebagai hutan lindung itu. BODT melaporkan mereka dengan tuduhan pembakaran lahan. Pasal yang dituduhkan sama dengan pasal yang dituduhkan kepada pembakar lahan gambut untuk lahan sawit di Provinsi Riau. Adanya dua warga Sigapiton yang masuk rumah tahanan (Rutan) membuat rakyat Sigapiton berhenti melakukan perlawanan.

Kantor Staf Presiden (KSP) sebenarnya telah menyampaikan bahwa daerah Sigapiton adalah daerah transisi dari wilayah adat menjadi wilayah wisata. Masyarakat lokal belum menyadari, bahkan tidak tahu batas-batas wilayah yang diklaim BODT menjadi miliknya dari pengalihan hutan lindung oleh KLHK. Karena Sigapiton daerah transisi, KSP menulis surat edaran agar polisi memakluminya dan tidak perlu menangkap warga yang bekerja di lahan transisi itu.

Namun polisi tetap menangkap dan melanjutkan proses hukum terhadap warga. Di Pengadilan Negeri (PN) Balige, dua warga Sigapiton diadili. Saya menjadi saksi ahli dari Ilmu Lingkungan, Prof Mompang Panggabean, SH, MH sebagai ahli hukum pidana, dan mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Dr Maruarar Siahaan sebagai ahli konstitusi. Dr Maruarar Siahaan yang mantan hakim MK itu tiga hari menunggu giliran untuk menyampaikan keahliannya lewat zoom, tetapi hakim di PN Balige tidak memberi kesempatan tanpa alasan jelas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com