Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Drs. I Ketut  Suweca, M.Si
PNS dan Dosen Ilmu Komunikasi STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja

Pencinta dunia literasi

Taksu Bali, Bali Metaksu

Kompas.com - 02/08/2022, 16:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJAK dulu Bali memiliki daya tarik bagi para turis untuk berkunjung ke pulau kecil ini. Wisatawan dalam dan luar negeri berdatangan ke Bali, kendati sekadar untuk bisa duduk di pantai, melihat gunung, melihat aktivitas masyarakat, makan di restoran dan menginap.

Bahkan, saking terkenalnya -- oleh beberapa lembaga, Bali dinyatakan sebagai salah satu destinasi wisata terpopuler dan terbaik di dunia.

Bali menjadi daerah yang penuh daya tarik adalah sederet hal yang dapat dilihat secara kasat mata. Tetapi, di balik semua itu, ada agama-adat- budaya yang kokoh yang menjadi pilar yang bagi keberadaannya.

Saya bukan orang yang paham secara mendalam tentang agama, adat, juga budaya Bali. Sebagai orang cukup awam di bidang ini, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa ada penyebab mengapa Bali metaksu atau memiliki inner power yang melahirkan kekuatan, kharisma sekaligus pesona.

Tri Hita Karana

Salah satunya adalah pedoman hidup orang Bali yang dikenal dengan sebutan Tri Hita Karana. Pedoman ini mengantarkan orang Bali hidup harmonis.

Bukan hanya hidup harmonis dengan sesama manusia, juga dengan Sang Pencipta, dan alam lingkungan semesta raya.

Mari kita bahas hal ini lebih jauh lagi. Tri Hita Karana dimaknai sebagai tiga penyebab kebahagiaan. Ketiga aspek itulah, bagi manusia Bali, menjadi penyebab hidup bahagia.

Kebahagiaan itu baru bisa diperoleh apabila manusia menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan, menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungannya. Seperti apa?

Pertama, menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan. Setiap orang yang datang dapat menyaksikan sendiri betapa khusuknya masyarakat Bali dalam urusan agama dan ketuhanan.

Mereka melakukan ritual persembahyangan setiap hari sebagai wujud bakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.

Bagi manusia Bali, tiada hari tanpa sembahyang dan ritual. Menghaturkan sesajen yang berupa dupa, bunga, dan tirta, adalah aktivitas setiap hari.

Mencakupkan tangan menyembah Tuhan adalah bagian dari aktivitas keseharian yang tak pernah surut. Melantunkan lagu ketuhanan atau mekidung sudah menjadi bagian dari budaya.

Maka, tidak aneh jika wisatawan yang datang ke Bali sering menyaksikan persembahyangan atau ritual seperti itu di berbagai tempat suci.

Ilustrasi Suku Bali di Ubud DOK. Shutterstock/CherylRamalhoShutterstock/CherylRamalho Ilustrasi Suku Bali di Ubud DOK. Shutterstock/CherylRamalho
Ritual menyembah Tuhan dengan segala manifestasinya adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat di Pulau Dewata ini.

Kedua, menjaga hubungan harmonis sesama manusia. Kita bisa melihat kehidupan yang harmonis itu terwujud dalam kenyataan di Bali. Bukan hanya antarmanusia Bali sendiri, bahkan juga dengan para pendatang, siapa pun dia dan dari mana pun ia berasal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com