Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menatah Kenangan di Dinding Tebing

Kompas.com - 22/02/2012, 08:15 WIB

Oleh Putu Fajar Arcana

Mata penari Nungki Kusumastuti terpejam. Seorang asing yang duduk tak jauh dari pelataran Pura Gunung Kawi rupanya terpengaruh. Ia memejamkan mata menghadap ke gugusan candi. Suara gemericik air sayup-sayup mengalir dari dasar Tukad (Sungai) Pakerisan. Keduanya khusyuk dalam meditasi....

Aura spiritual amat kental di sini. Candi-candi yang dipahat di dinding tebing mengantarkan kita pada ingatan dan kenangan yang tertimbun di lembah Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Gianyar, Bali. Sore pada awal Februari 2012 itu seperti melompat di atas kehijauan di musim penghujan.

Dulu, dulu sekali, pada masa Bali diperintah Raja Marakatapangkaja (944-947 Isaka) gugusan candi ini mulai dibangun. Pembangunan kemudian dilanjutkan saat pemerintahan Raja Anak Wungsu (971-999 Isaka). Keduanya tak lain adalah raja- raja keturunan Raja Udayana dari Dinasti Warmadewa.

Silsilah raja-raja ini, menurut arkeolog R Goris, berkaitan dengan pemerintahan Erlangga di kerajaan Kediri, Jawa Timur. Erlangga sendiri sebenarnya berasal dari Dinasti Warmadewa, tetapi menikah ke Jawa.

Sebelum mencapai kompleks candi, kita harus menuruni 320 anak tangga. Jangan khawatir, di kanan-kiri terdapat lanskap lembah dengan sawah-sawah hijau yang bersusun. Di situ kedamaian seperti dialirkan lewat mata air-mata air yang banyak terdapat di dasar lembah. Pada pertengahan perjalanan, tebing seperti terbelah, lalu gugusan candi utama di seberang Tukad Pakerisan menyergap dari arah matahari. Bagaimana manusia Bali kuno bisa membelah tebing yang kokoh ini? Nungki penuh tanya.

Sebelum menyeberangi sungai, di sebelah kanan terdapat gugusan candi yang konon menjadi pedharman (persemayaman roh yang suci) empat permaisuri Anak Wungsu. Tak jauh dari sini, terdapat pula satu candi, yang diduga tempat persemayaman bagi perdana menteri.

Candi utama di seberang sungai terdiri atas lima bangunan yang dipahatkan langsung di dinding tebing. Pada candi paling utara terdapat pahatan huruf Kadiri Kuadrat berbunyi, ”Haji Lumrah Ing Jalu”. Kalimat ini banyak ditafsir bermakna ”raja yang dimakamkan di Jalu atau Pakerisan”. Bangunan candi paling utara diduga pedharman Raja Udayana, menyusul Marakatapangkaja, Anak Wungsu, dan permaisuri.

Bali kuno

Gunung Kawi menjadi istimewa, bukan saja karena menjadi situs peninggalan raja-raja Bali kuno, sekitar abad ke-10 sampai ke-11, tetapi juga karena terdapat gugusan candi yang tidak dibangun secara mandiri sebagaimana pada masa yang sama terjadi di Jawa. Semua candi di Gunung Kawi dipahatkan di dinding tebing sehingga tampak menyerupai relief besar. Hal yang menarik, di Bali terdapat beberapa lokasi yang memiliki kecenderungan sama. Selain di Gunung Kawi, relief yang disucikan juga dipahatkan di Yeh Pulu, Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar. Relief Yeh Pulu memiliki panjang 25 meter, diperkirakan dipahatkan pada 1343 Masehi. Relief ini menggambarkan aktivitas spiritual dan sehari-hari masyarakat pada masa itu.

Gunung Kawi rupanya menjadi monumen spiritual yang makin istimewa karena di sekitar tebing juga terdapat ceruk-ceruk yang disebut bihara. Diperkirakan pada ceruk-ceruk inilah dahulu orang-orang bermeditasi untuk meraih kesucian diri. Diduga kompleks ini dahulu juga berfungsi sebagai asrama, di mana kaum spiritualis berkumpul untuk meraih pencerahan.

Candi-candi Hindu tak pernah jauh dari air. Di atas situs Gunung Kawi terdapat hamparan persawahan yang hijau dan saluran irigasi yang tak pernah kekeringan. Sementara di dasar lembah terdapat aliran air dari Tukad Pakerisan yang berhulu di Tirta Empul, Tampaksiring. Air memang menjadi bagian penting dalam ritual Hindu. Ia diletakkan sebagai anugerah semesta untuk membersihkan diri, melebur segala mala. Oleh sebab itulah, seluruh ritual Hindu selalu didahului dan diakhiri dengan air suci.

Di Gunung Kawi, mata air itu tak pernah kering. Mungkin itu juga simbol aliran aura spiritual yang akan menyejukkan hati siapa pun yang berkunjung. Menapaki anak tangga sebanyak 320 unit, ketika kita harus mendaki untuk pulang, bisa tak terasa. Ketenangan seperti menyatu dalam aliran darah, lalu menjelma menjadi pahatan kenangan tak terhapuskan di dalam jiwa kita....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com