Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rona Pelangi dari Lorong Becek

Kompas.com - 25/03/2013, 07:54 WIB

KAIN tradisional jumputan mendapat tempat di pusat-pusat perbelanjaan modern dan gerai-gerai cendera mata terkemuka di Palembang, Sumatera Selatan. Warnanya yang meriah, ibarat rona pelangi, menyimpan kisah perjuangan perajin bermodal kecil demi membangkitkan kembali salah satu produk budaya Palembang itu.

Kain yang juga disebut kain pelangi itu sebagian besar dibuat oleh tangan-tangan perajin di sebuah lorong kecil di pinggiran Kota Palembang, Sumatera Selatan. Tangan-tangan itu terampil, mulai dari melukis bahan dasar, menjahit jumputan, mencelup warna, hingga melapisi zat.

Disebut kain pelangi karena warna-warnanya semeriah pelangi. Corak inilah yang membedakan motif kain jumputan di Palembang dengan kain-kain jumputan daerah lain.

Memasuki permukiman padat tersebut, baru-baru ini, kain-kain jumputan setengah jadi melambai-lambai dari jemuran di sepanjang lorong yang becek setelah hujan. Di rumah-rumah sederhana, yang sebagian besar terbuat dari papan kayu, terlihat kesibukan orang-orang yang menggarap kain jumputan. Di antaranya terlihat anak-anak yang berlarian di antara kain jumputan yang dijemur.

Menggeliat lagi

Pemandangan penuh warna di lorong tersebut sebenarnya baru muncul beberapa tahun terakhir. Lorong Kebon Pisang di Kelurahan Tuan Kentang, Palembang, pernah mengalami masa suram saat hampir semua perajin kain jumputan berhenti karena harga bahan baku melambung tinggi pada tahun 2002.

Sebagian besar perajin yang berasal dari Serang dan Kuningan, Jawa Barat, pulang ke kampung halaman. Sarmah (45), salah seorang perajin yang saat itu merugi, memilih jadi tenaga kerja wanita di Arab Saudi setelah tak dapat pekerjaan di Jawa. Ia baru saja kembali ke Palembang tiga bulan lalu untuk mulai menggeluti kain jumputan lagi.

Pasangan perajin Bakarudin (65) dan Siti Supairoh (50) juga masih ingat masa-masa suram lalu. Saat itu, harga bahan baku melambung lebih dari 150 persen. Harga kain yang semula Rp 9.000 per meter naik menjadi Rp 15.000 per meter. Usaha pasangan asal Kuningan itu pun ambruk. Mereka rugi sampai jutaan rupiah. ”Kios kami lepas. Juga 15 pekerja terpaksa kami berhentikan,” tutur Supairoh.

Pasangan yang menggeluti kerajinan kain tradisional sejak 1982 itu pun beralih ke batik. Namun, usaha tersebut hanya bertahan setahun. Sebab, tak mampu bersaing dengan batik dari Jawa dan batik ”gadungan” dari China.

Baru sekitar tiga tahun belakangan Bakarudin dan Supairoh mampu mengumpulkan modal guna memulai usaha kain pelangi lagi. Saat ini, kerajinan kain jumputan di Lorong Kebon Pisang menggeliat lagi. Kini, selain memiliki 10 pekerja upahan, pasangan itu juga mengirim produksi kain jumputannya ke Bali.

Riwayat

Kain jumputan pelangi merupakan pertemuan berbagai budaya. Motif kacang ijo, titik tujuh, atau sesirangan, mirip motif jumputan di Jawa. Palembang, yang pada masa lalu sempat menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit dan Kesultanan Demak, banyak terpengaruh Jawa. Namun, warna meriah dan gradasi pelangi sangat khas Palembang, yang dipengaruhi oleh budaya Melayu dan China.

Kini, Lorong Kebon Pisang dikenal sebagai satu-satunya pusat kerajinan kain jumputan di Palembang. Hampir semua rumah di Lorong Kebon Pisang, yang jumlahnya sekitar 30 keluarga, menggeluti tradisi tersebut.

Salah satu perajin tertua di Lorong Kebon Pisang, Masinah (70), mengatakan, sentra kerajinan ini bermula sejak 1980-an. Awalnya, perintis kerajinan jumputan itu pekerja upahan pengusaha kain jumputan asli Palembang. Dulu, kain jumputan Palembang dibuat serba alami, dimulai dari menenun sutra alam hingga pewarnaan menggunakan, antara lain, tanah liat, kulit rambutan, dan beberapa jenis daun. Namun, usaha itu berhenti pada awal 1990-an.

Kepopuleran kain jumputan pelangi saat ini memang tak lepas dari peran beberapa desainer yang pernah mengembangkan dan memasarkannya di kancah nasional hingga saat ini. (Irene Sarwindaningrum)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com