Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Empat Wangsa Sehulu Rasa

Kompas.com - 15/06/2013, 08:34 WIB

Oleh Aryo Wisanggeni Genthong, Nur Hidayati dan Helena Fransisca Nababan

Perang dan pertikaian mengoyak Mataram hingga terbagi menjadi empat: Kasunanan Surakarta; Kasultanan Yogyakarta; Mangkunegaran; dan Pakualaman. Empat wangsa itu mewarisi dan memperkaya tradisi kuliner Mataram.

”Pukul 22.00, Sunan (Paku Buwono) dan permaisuri datang di (dapur) Gandarasan. Permaisuri mulai meletakkan dandang dan memasukkan beras ke dalam kukusan, sedangkan Sunan memasukkan kayu ke dalam tungku. Api yang dipakai diambilkan dari dian yang tak pernah padam. Beberapa saat kemudian, Sunan dan permaisuri kembali ke Kedathon. Pukul 04.00 nasi telah masak.” (Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830 – 1839, 2000).

Ritual adalah bagian terpenting dari kehidupan para raja Jawa, bagian dari cara raja bersua rakyat atau kawulanya. Salah satu ritual teristimewanya adalah Adang Sega Tahun Dal, ritus Sunan Surakarta menanak nasi bagi kawulanya. Ritus delapan tahunan yang digelar tiap perayaan Grebeg Maulud Tahun Dal.

Tahun Dal, tahun kelima dalam siklus delapan tahunan penanggalan Jawa, diistimewakan karena merupakan tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Adang Sega Tahun Dal adalah tradisi yang diwariskan Raja Mataram, Sunan Paku Buwono (PB) II. Beliau menggelar Adang Sega Tahun Dal pertama setelah memindahkan istananya dari Kartasura ke Surakarta pada 1744.

Hingga upacara Adang Sega Tahun Dal pada 2010, periuk nasi yang dipakai para Sunan PB selalu sama. Periuk Kiai Dhudha, pusaka yang dipercayai sebagai periuk Dewi Nawangwulan dalam mitologi Joko Tarub.

”Setelah matang, nasinya dicampur nasi lain agar cukup dibagikan kepada banyak orang. Lauk makannya selalu sama, sate penthul dan dendeng age. Dua lauk yang memang hanya dimasak dalam perayaan Tahun Dal itu,” tutur GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayanti, putri sulung Sunan PB XIII yang bertakhta saat ini.

Ritus ”raja melayani rakyatnya” itu terwariskan pula di Kesultanan Yogyakarta. Itulah kerajaan yang terbentuk pasca-Perjanjian Gianti 1755, yang membagi wilayah Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Di Yogyakarta, permaisuri raja menanak nasi dengan pusaka kendil Nyai Mrica, dan tradisi itu dilanjutkan GKR Hemas pada Maulud Tahun Dal 2010.

Nasi yang matang dari kendil Nyai Mrica itu ditaruh di piring pusaka Kiai Blawong. Lalu Sultan Hamengkubuwono (HB) X membentuknya menjadi bola-bola nasi, disebut nasi golong. Nasi golong itu lantas dibagikan kepada para kawula.

Ritus menanak nasi Kasunanan Surakarta dan upacara nasi golong Kesultanan Yogyakarta seperti ”lembaga konservasi” aneka kuliner Mataram. Begitu pula upacara dan ritual keraton lainnya.

”Tiap upacara keraton, berbagai makanan masa silam dihadirkan. Menthok asrepan kegemaran Ki Ageng Nis misalnya, disajikan dengan harapan Ki Ageng Nis turut merestui hajatan istana. Hal itu membuat menu klasik yang merepresentasi tokoh tertentu selalu terpelihara,” kata Sumartoyo, General Manager Bale Raos, restoran di Magangan, Keraton Yogyakarta.

Setelah beratus tahun menjalani sejarahnya masing-masing, empat wangsa pewaris takhta Mataram tetap punya kesamaan santapan. Citarasa tak lantas lumat oleh segala politik identitas dibangun keempat wangsa itu.

Dendeng age, ”lauk keramat” Adang Sega Tahun Dal berupa daging cincang berbumbu ketumbar, daun salam, dan manisnya gula kelapa itu menjadi kegemaran atau kersanan PB IX (bertakhta 1861-1893) maupun HB VIII (bertakhta 1921-1939). Garang asem (daging ayam berbumbu dengan kuah santan yang segar oleh aroma irisan belimbing) yang dikenal di Kesultanan Yogyakarta juga digemari Mangkunegara VI (bertakhta 1896-1916).

Lombok kethok (daging sapi berkuah asam, berbumbu rempah, lombok, dan belimbing), juga kudapan manuk nom (kukusan tape ketan ijo bersantan manis, berhias ’sayap’ emping melinjo yang gurih), dikenal di istana keempat wangsa pewaris takhta Mataram.

Nasi golong hadir dalam berbagai ritual masing-masing wangsa, dilekati berbagai mitologi kebesaran masing-masing wangsa.

”Terpecahnya takhta Mataram juga menghasilkan perkembangan kuliner yang berbeda. HB IX yang piawai memasak telah membuat menu baru seperti zwaar zwiir, bebek cincang berbumbu saos kedondong, yang diciptakannya bersama seorang koki asal Eropa yang menjadi abdinya. Juga singgang ayam yang sekilas mirip sate ayam, namun kaya citarasa Sumatera,” kata Sumartoyo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com