Di depan pendopo ada Sekolah Dasar (SD) yang menjadi tempat menimba ilmu anak-anak Desa Tana Towa. Saat jam pulang sekolah tiba, puluhan anak menyeruak keluar dari kelas-kelas mereka. Berjalan bersama kawan-kawannya pulang ke rumah.
Ada satu yang menjadi perhatian dari siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) 351 Kawasan Ammatoa Kecamatan Kajang tersebut yaitu pada seragam yang mereka gunakan. Berbeda dengan siswa sekolah dasar pada umumnya di sebagian wilayah di Indonesia yang menggunakan seragam putih dan merah, siswa SD di desa Tana Towa mengenakan seragam putih dan hitam.
Warna hitam sepertinya memang sudah menjadi simbol masyarakat Desa
Tana Towa yang didiami oleh Suku Kajang. Hitam, bagi mereka merupakan filosofi hidup. Dari gelapnya rahim di kandungan ibu kembali ke gelapnya liang kubur saat meninggal. Warna hitam pula yang menjadi pakaian warga desa setiap harinya. Mulai dari sarung, baju hingga penutup kepala.
Sesekali terlihat rumah penduduk berbentuk panggung memanjang terbuat dari kayu. Tak jarang juga terlihat sang pemilik rumah sedang beraktifitas di sekelilingnya. Semakin diperhatikan, ternyata bentuk rumah penduduk adalah sama, pun menghadap ke satu arah yang sama. Pada pekarangan di setiap rumah mereka, rata-rata memiliki binatang peliharaan. Entah ayam, sapi atau kuda.
"Menurut Ammatoa cara hidup kita di sini diatur oleh Pasang. Pasang semacam petuah yang tidak tertulis yang disampaikan secara lisan kepada leluhur. Pasang meliput beberapa unsur dalam kehidupan baik mengatur bidang kelangsungan hidup dan lain-lain," ujar Kepala Desa Tana Towa, Sultan.
Sultan pun mengatakan, adanya Ammatoa bertugas untuk mendoakan manusia dan seisi alam agar jauh dari bahaya. Karena masyarakat Suku Kajang meyakini daerah dimana mereka tinggal sekarang, Tana Towa, adalah tanah tertua yang ada di dunia sebelum adanya kehidupan.
Kehidupan masyarakat Desa Adat Ammatoa bisa dibilang tak tersentuh oleh modernisasi. Tak akan ditemui benda elektronik, telepon selular dan listrik. Bahkan mobil dan motor pun tak dapat masuk ke pemukiman masyarakat desa yang akses jalannya masih didominasi bebatuan. Pendopo di gerbang masuk desa seakan menjadi pembatas kehidupan modern dan kehidupan adat khas Suku Kajang.
Perhatian banyak kalangan
Konsep hidup masyarakat Suku Kajang yang selaras dengan alam rupanya menjadi perhatian banyak kalangan. Baik dari akademisi maupun lembaga pemerhati lingkungan. Agus Mulyana dari Center for International Forestry Research (CIFOR) mengatakan bahwa di Desa Ammatoa ini, ditemukan titik keseimbangan antara lingkungan dan masyarakat.
Hal tersebut terlihat dari bagaimana masyarakat menjaga kawasan desa mereka yang sebagian besar adalah hutan. Hutan desa Ammatoa diketahui memiliki jenis kayu biti (Vitex cofassus) dengan kualitas nomor wahid. Kayu biti berbentuk bengkok adalah kayu terbaik untuk pembuatan kapal phinisi.
"Di Bulukumba kayu biti makin bengkok makin mahal. Di sini (Tana Towa) kayu biti banyak sekali," ujar dosen Fakultas Kehutanan Universtas Hassanudin, Asar Said Mahbub.