Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyantap Tempura di Negeri Asalnya

Kompas.com - 09/07/2013, 08:07 WIB
ADA rasa yang kurang bagi lidah Indonesia begitu mencecap kerenyahan tempura di restoran Tempura Tsunahachi di kawasan Shinjuku Shianjuku-ku, Tokyo, Jepang, awal Juni lalu: pedasnya cabai. Alhasil cabai bubuk yang disediakan di meja harus ditambah untuk mengimbangi kerenyahan berbagai macam tempura itu.

Gorengan khas Jepang itu menjadi menarik karena keanekaragaman bahannya, terutama sayuran dan produk ikan. Ada jagung muda, terung, ubi, bawang bombai, asparagus, hingga paprika.

Produk ikan yang dijadikan tempura pun aneka rupa dari udang besar, udang kecil (ebi), cumi, kerang berikut cangkangnya, aneka ikan, hingga belut (unagi). Meskipun tepung pembalut bahan sama dan relatif tidak berasa, rasa tempura menjadi bermacam-macam karena bahan yang bermacam- macam itu.

Hidangan dibuka dengan sup kerang yang terasa lembut dan segar. Semangkuk saus tempura sudah tersedia di meja untuk setiap tamu, demikian juga acar dari irisan sawi. Parutan lobak putih juga tersedia di meja. ”Tumbukan lobak yang dicampur dengan kuah tempura bagus lho untuk pencernaan,” tutur Ayumi Shinoki, penerjemah bahasa Jepang rombongan wartawati Indonesia yang diundang Uniqlo, produk apparel asal Jepang.

Kami mendapat tempat duduk di lantai dua di ruang lesehan. Seorang ibu paruh baya berseragam pelayan restoran duduk bersimpuh di depan pintu. Dengan setengah menunduk ia meminta sepatu tamu saat masuk ke ruangan, lalu meletakkan sepatu dengan rapi di rak sepatu di samping pintu masuk. Demikian pula saat tamu keluar, dia mengambilkan sepatu itu dan menyerahkan ke tamu dengan sangat sopan, sampai si penerima merasa rikuh.

Tidak seperti para tamu Jepang yang tahan berjam-jam duduk bersimpuh dengan punggung tegak, seperti yang dilakukan Ayumi, para wartawan Indonesia lebih memilih duduk bersila. ”Lama-lama kesemutan kalau duduk bersimpuh,” tutur seorang anggota rombongan.

Seperti kebanyakan tata ruang Jepang, ruangan restoran disusun sangat efisien. Lantai satu diisi oleh para tamu individu yang duduk mengelilingi pantri. Mereka langsung berhadapan dan berinteraksi dengan para koki. Lantai dua digunakan untuk tamu lesehan meskipun ada pula tempat duduk tamu mengelilingi pantri yang lebih kecil dibandingkan di lantai satu. Lantai satu dan dua dihubungkan dengan tangga kayu sempit. Restoran ramai dikunjungi orang saat makan siang.

Tempura dihidangkan masih dalam keadaan panas, bersama nasi yang hangat pula. Sebuah keasyikan tersendiri menebak tempura yang disantap karena baluran tepung tak jelas menunjukkan bahan apa yang digoreng.

Jagung muda jelas beda rasanya dengan paprika, ubi, atau asparagus. Meskipun digoreng, sayur-sayuran itu masih terasa segar sekaligus renyah di mulut.

Namun, ikan dan belut yang sudah dihilangkan durinya terasa relatif sama di lidah. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Satu menggumpal, satunya panjang.

Tempura kerang menjadi satu hal yang menarik karena cangkang si kerang turut dilapis tepung dan digoreng. Rasa kerangnya mirip dengan tempura cumi meskipun lebih lembut di lidah.

Sejumlah sumber mengatakan, tempura dikenal di Jepang sejak abad ke-16 di zaman Edo dan ternyata bukan asli makanan Jepang, tetapi dari Portugis. Makanan ini diperkenalkan pertama kali oleh misionaris Portugis yang masuk ke Jepang pada abad ke-16. Mereka menggoreng sayur dan ikan setelah dicelupkan dalam larutan tepung (koromo) saat mereka sedang pantang daging di masa suci saat masa pra-Paskah.

KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI Hidangan lengkap tempura.
Nama tempura diduga berasal dari bahasa Portugis, temporas (masa suci), tempero (bumbu dapur), templo (kuil). Awalnya tempura adalah makanan rakyat jelata, tetapi kemudian berkembang menjadi makanan semua orang, termasuk kaum elite dengan bahan yang lebih bermutu.

Dibandingkan gorengan Indonesia yang dipenuhi tepung, tempura terasa lebih sehat karena bahan aneka sayuran dan ikan yang menyehatkan.

Saat lidah masih ingin mencicip aneka rasa tempura itu, ternyata perut sudah tak mampu menampung. Alhasil, hidangan harus ditutup dengan segelas air putih dan minuman perasan paprika merah. Rasanya getir di lidah, sedikit pedas, tetapi segar. Minuman paprika itu menjadi penawar mulut yang terasa berminyak, apalagi paprika juga terkenal mengandung zat yang membersihkan darah (kolesterol) dan menjaga kesehatan jantung.

Tak heran, meskipun gemar makan gorengan seperti tempura, orang Jepang tetap sehat karena mereka mengonsumsi makanan yang terjaga keseimbangannya. (Aufrida Wismi Warastri)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com