Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alam Pasundan sebagai Penghidupan

Kompas.com - 25/07/2013, 15:22 WIB
Pengantar Redaksi

Selepas berkisah tentang santapan Aceh, Bali, Solo, dan Yogyakarta, juga santapan orang Betawi, tim Jelajah Kuliner Nusantara 2013 memburu keragaman kuliner ”Tatar Sunda”. Siapa sangka, lalap, pepes, dan sambal menyimpan berlapis-lapis cerita. Selama empat hari, 25–28 Juli, sebagian kisah tentang ”urang Sunda”, keindahan Tatar Sunda, dan makanannya akan tersaji di harian ”Kompas”. Pembaca juga bisa mengakses tulisan melalui iPad (App-Store), Android (Play Store), dan Kompas.com.

------

”Di kebun teh, lalapannya ya daun teh!” kata Enis Supartini (44) . Pagi itu, pemetik teh di perkebunan milik Pusat Penelitian Teh dan Kina di Gambung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu tengah menikmati sarapan bersama regu pemetik tehnya.

Enis, Elies, Aah, dan para pemetik teh lain duduk bergerombol di tepi tanjakan jalan berbatu, beralas lembaran plastik yang juga merupakan ponco mereka jika turun hujan. Enis membongkar kotak makanan plastik merahnya yang penuh berisi nasi. Ia bertukar bekal dengan Elies dan Aah. Gara-gara ”arisan” itu, sekantong plastik gorengan, telur dadar, tumis kentang yang memerah oleh cabai, kerupuk, dan jagung rebus terkumpul di atas lembaran ponco.

Semuanya mengepung sekotak sambal dadakan hijau tua yang menebar aroma cabai rawit yang pedas. ”Sambal itu wajib,” kata Enis tertawa, sesendok makan sambal mampir ke nasi putih di kotak merahnya. Diselingi candaan dari sesama pemetik teh, ia menyantap bekal yang dimasaknya subuh tadi.

Enis kemudian mengambil segepok daun teh muda yang hijau dan segar. Daun teh itu dicocolkan ke sambal dan disantapnya. Lalap daun teh! ”Enak kok, silakan coba. Lalapan daun teh hanya bisa dicicipi di kebun, daunnya tidak boleh dibawa keluar kebun,” kata Enis lahap menyantap lalapan istimewa itu.

Daunnya muda, lunak, pahit dan sepatnya yang samar pas menemani sambal pedas. Urusan makan tak pernah jadi urusan susah di Tanah Sunda. Petik-petik-petik, sambal, beres....

Berdaulat

Pagi di kebun teh Gambung itu adalah potret kecil kedekatan urang Sunda dengan alam. Lalap yang terdiri atas berpuluh-puluh jenis dedaunan tanaman ataupun tumbuhan liar tak sekadar santapan, tetapi juga wujud kedaulatan pangan urang Sunda.

KOMPAS/PRIYOMBODO Pemetik teh menikmati sisa bekal mereka dengan lalapan daun teh atau dikenal dengan istilah jomet seusai bekerja di area kebun teh yang dikelola oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung di Desa Mekarsari, Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Bahkan ketika frasa ”kedaulatan pangan” tak akrab diucap, urang Sunda hidup dengan menjalani apa makna berdaulat dan mandiri atas tiap-tiap segala apa yang tersaji di meja hidangan mereka. Laku hidup yang ditopang pengetahuan dan kearifan tradisional dari para leluhurnya.

”Tatar Sunda” memang istimewa, dengan tingkat keanekaragaman tumbuhan jauh melampaui wilayah lain di Pulau Jawa. Di Jawa Barat, tumbuh tak kurang dari 3.882 spesies tumbuhan. Sementara di Jawa Timur dan Jawa Tengah masing-masing terdapat 2.717 spesies dan 2.581 spesies tumbuhan. Jawa Barat, khususnya Priangan Timur, memang subur, kaya air, kaya segalanya.

Untuk bersantap, urang Sunda bahkan tak perlu keluar halaman rumah dan sawahnya. Tanaman kebutuhan dapur seperti cengek atau cabe rawit, cabe keriting, tomat, leunca, salam, serai, surawung, kunyit, dan lain-lain selalu ada di halaman rumah. Di simpang-simpang pematang, kacang panjang, roay atau jaat tumbuh. Lagi-lagi, petik-petik-petik, lalu mengulek sambal tomat-terasi pedas, makan!

Hampir di setiap rumah warga di pedesaan Priangan Timur terdapat kolam ikan peliharaan atau balong. Aliran sungai penuh dengan karamba (kotak kayu atau bambu yang direndam di air sungai, dijadikan kandang memelihara ikan). Sungai menjadi tempat pemeliharaan ikan bagi keluarga yang tak cukup punya tanah untuk membuat balong.

KOMPAS/PRIYOMBODO Pemetik teh menikmati bekal mereka sebelum memulai bekerja di area kebun teh yang dikelola oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung di Desa Mekarsari, Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Rabu (3/7/2013).
Sungai memang selalu menjadi bagian dari sumber pangan masyarakat Sunda. Hingga kini begitu banyak kosakata Sunda untuk beragam ikan dan fauna sungai yang susah dicari padanannya dalam bahasa Indonesia lantaran fauna itu nyaris tak mungkin didapati di daerah lain. Bebeong, deleg, bogo, betok, jeler, beunteur, sidat, hurang (udang), kijing atau kerang.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com