Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Budaya Lalap "Urang" Sunda

Kompas.com - 26/07/2013, 10:04 WIB
KATA orang, punya istri orang Sunda tak perlu repot memberi makan. Cukup sediakan daun-daunan. Ya, urang Sunda selama ini memang dikenal sebagai pemakan lalap sejak zaman baheula.

Dinginnya malam dan rintik hujan yang mengguyur Kota Bandung, Jawa Barat, Juni lalu, tak menyurutkan ramainya orang berburu santapan di puluhan jongko atau warung yang berderet, dengan sama menyuguhkan indahnya kerlap-kerlip lampu listrik. Semua pun menyuguhkan menu yang sama: pepes, aneka ikan bakar dan goreng, dan tentu saja, lalap!

Begitu pula suasana di warung milik Dudung. ”Biar banyak jongko, tiap jongko punya rezekinya sendiri. Semua punya kekhasan resep rumahan masing-masing. Kami lebih sulit mencari tukang masak di dapur daripada mencari pembeli,” kata Dudung terkekeh.

Pepes peda, tahu, jamur, dan ikan mujair goreng jadi pilihan. Tanpa menunggu lama, semua pesanan tersaji bersama sebakul kecil nasi hangat, sambal rawit yang baru saja diulek, serta sepinggan besar aneka sayur lalapan. Mulai dari daun singkong rebus dan pokcay rebus, sampai sayuran mentah seperti terong, kacang panjang, surawung, juga leunca.

”Kalau mau juga ada petai, mau digoreng, dibakar, atau dimakan mentah. Minta maaf, kami tak sanggup menyediakan jengkol. Sekarang harganya mahal, Rp 90.000 per kg,” kata Dudung serius.

Awal Juni lalu, harga jengkol melambung tinggi, membuat Dudung ”menyerah”. Maklum saja, jengkol bukan barang pabrikan yang pasokannya bisa diatur sesuai perkembangan harga. ”Seperti daun singkong rebus, jengkol sebenarnya lalapan wajib di jongko saya. Kalau daun singkong rebus habis, kami bisa saling pinjam dari jongko lain. Namun, kalau jengkol, semua jongko sedang tak punya jengkol,” lanjutnya.

Beragam lalap

Sebenarnya tidak ada pakem atau rumus baku tentang lalapan. ”Lalapan wajib” yang disebutkan Dudung lebih merupakan kebiasaan warung makanan Sunda di Bukit Punclut semata. Di warung atau rumah makan Sunda lain, jenis lalapan yang tersedia bisa berbeda. Justru itulah istimewanya berwisata kuliner di Sunda, lain tempat lain lalapannya.

Sebut saja di Rumah Makan Ampera di Jalan Soekarno Hatta, lalap berupa daun tespong, leunca, kemangi, daun selada, dan mentimun, juga disuguhkan. Setiap pengunjung boleh mengambil lalapan gratis ini, lengkap dengan sambal terasi yang disajikan dalam cobek kecil.

Lain lagi di rumah makan Cibiuk. Lalap ditata apik, dengan belasan jenis sambal di saung kecil. Lalap dan sambal juga ada di restoran Laksana, Bancakan, Sambara, Sindang Reret, dan sederet rumah makan Sunda lainnya.

Di Warung Jeruk, warung pepes di Ciamis, Jawa Barat (Jabar), yang berdiri sejak 1958, lalapan lebih lengkap lagi. Mulai dari daun dewa, daun reundeu, tespong, poh-pohan, antanan, serta kunyit muda. Ya, kunyit yang biasanya dipakai sebagai bumbu masak, di warung yang sederhana ini disajikan sebagai lalap. Sebelum dimakan, kunyit dicocol garam yang dibakar lebih dulu.

Menurut Kusmiati (42), pemilik Warung Jeruk, beberapa jenis lalap yang disajikan, seperti daun reundeu dan poh-pohan adalah lalap gunung yang berasal dari kaki Gunung Sawal, di Ciamis. Jenis lalap lainnya tumbuh liar di pematang sawah, seperti antanan dan genjer.

Kebun juga jadi tempat menanam lalap seperti mentimun, kacang panjang, leunca, singkong, dan lain-lain. Lalap bisa juga tumbuh di pekarangan rumah (antanan, semanggi, tekokak), hingga di taman-taman kota (antanan, kenikir, kihapit).

Keragaman jenis lalapan semakin beragam di tiap-tiap masakan rumahan urang Sunda. ”Tidak lengkap kalau makan tak ada lalap dan sambal,” komentar Uti, ibu penjual bumbu dapur di Pasar Ciawi, Tasikmalaya.

Yatti (61), ibu rumah tangga di Bandung, diajari memakan lalap sejak bocah. Pelajaran dimulai dengan mentimun, kangkung, dan genjer yang direbus, serta daun singkong. Makin lama, kebiasaan memakan lalap yang dilakukan Yatti ada tingkat ”advance”. Tumbuhan yang oleh bukan orang Sunda dianggap tak lazim, justru jadi hal yang biasa. Sebut saja daun jambu mede, randa midang (kenikir), sampai daun kunyit.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com