Puncak Sail Komodo sesuai rencana dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dihadiri para menteri, sejumlah duta besar, ribuan turis (asing dan lokal), pelaku wisata, dan masyarakat. Pelaksanaan Sail Komodo menyisakan waktu 40-an hari lagi, jika jadwal puncak Sail Komodo pada 14 September 2013.
Ketua Pusat Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, Thomas Ola Langoday, di Kupang, Minggu (21/7/2013), mengatakan, Sail Komodo 2013 selalu digadang-gadang bakal menyedot uang miliaran rupiah ke NTT. Petani, nelayan kecil, ibu rumah tangga, perajin, pemilik kendaraan beroda, restoran, penginapan, penjual jasa lain, bakal menghimpun uang tersebut.
Tetapi ia mempertanyakan, sejauh mana persiapan di 21 kabupaten/kota menerima para peserta Sail Komodo tersebut. Persiapan itu meliputi semua sektor, seperti penginapan, restoran, warung makan, pengemudi, pramusaji, dan ”guider”, serta acara-acara seremonial.
”Setiap titik destinasi harus dipersiapkan matang sehingga turis yang datang memiliki kesan positif, menyenangkan, dan selalu ingin kembali ke tempat itu bersama turis-turis lainnya. Itu berarti cara pikir tentang pariwisata harus diubah. Sail Komodo tidak sekadar acara seremonial, tetapi berkelanjutan bagi perkembangan ekonomi di NTT,” kata Ola.
Persiapan infrastruktur
Tidak kalah penting adalah pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, bandar udara, air bersih, kamar kecil, dan sarana transportasi, terutama pada setiap titik destinasi. Infrastruktur masih menjadi persoalan krusial di NTT karena daerah ini terdiri dari 1.192 pulau. Menjangkaui pulau-pulau kecil dan indah di provinsi ini tidak mudah.
Pembangunan infrastruktur, tidak hanya dibicarakan. Sarana dan prasarana ini harus serius diurus dengan baik untuk menjaga rasa nyaman, dan membuat pengunjung betah berada di tempat itu lebih lama.
Bandar Udara Labuan Bajo sampai hari ini belum rampung. Padahal, bandara itu harus digunakan paling lambat awal September. Bandara Ruteng sebagai penyangga Labuan Bajo selalu dimasuki ternak sapi sehingga sering mengganggu penerbangan setempat.
Sejumlah ruas jalan dan jembatan menuju pusat wisata masih terbengkalai. Ruas Jalan Lewoleba-Lamalera, misalnya, panjang ruas itu hanya 45 km, tetapi ditempuh empat jam perjalanan. Kondisi jalan ditumpuki batu-batuan, berlubang, jurang, dan masih berupa jalan tanah.
Warung makan, restoran, dan penyedia makanan ringan harus benar-benar memperhatikan unsur higienis. Air bersih yang mengalir ke hotel dan penginapan, harus tetap berlangsung selama 24 jam, demikian pula penerangan listrik.
Perilaku masyarakat membuang sampah di pesisir pantai juga masih terjadi. Meski masyarakat tahu akan manfaat pantai itu, tetapi cenderung bersikap masa bodoh dan apatis terhadap kondisi lingkungan sekitar.
”Jangan karena turis senang berkunjung ke kampung-kampung tradisional sehingga wilayah itu terkesan tetap dibiarkan tertinggal. Pemahaman ini tidak benar karena setiap warga negara harus menikmati kehidupan yang layak. Rehabilitasi kampung tradisional tidak berarti menghilangkan sejumlah kearifan lokal yang ada,” katanya.