Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meneduhkan Jiwa di Rumah Betang Ensaid Panjang

Kompas.com - 31/08/2013, 10:10 WIB
MASYARAKAT subsuku Dayak Desa di Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, masih mempertahankan tradisi turun-temurun tinggal di rumah besar atau rumah betang. Di zaman yang semakin individualis, rumah komunal itu menjadi magnet bagi wisatawan lokal dan mancanegara.

Berlatar belakang Gunung Rentap, Rumah Betang Ensaid Panjang berdiri kokoh. Arsitekturnya sederhana, coraknya menampilkan nuansa yang dengan alam. Hampir semua bahan bangunannya berasal dari alam.

Justru karena kesederhanaan itulah, ratusan wisatawan berkunjung ke rumah adat di Desa Ensaid Panjang itu setiap tahun. Tak terhitung pula jumlah peneliti yang pernah tinggal dan mendokumentasikan aktivitas sehari-hari masyarakat adat dari suku induk Iban itu.

Rumah betang yang ditempati oleh 88 orang dari 22 keluarga itu berukuran 118 meter x 17 meter. Rumah panggung itu memiliki tinggi sekitar 12 meter, dengan jarak lantai kayu dari tanah sekitar dua meter.

Menurut Sembai, Kepala Dusun Rentap Selatan, rumah betang itu sudah berkali-kali pindah. Terakhir kali, rumah betang itu dipindahkan sekitar 100 meter dari tempatnya semula tahun 1981 dan bisa ditempati tahun 1986. Sudah sekian kali, rumah betang itu dipindahkan dari tempatnya semula sejak masyarakat adat Dayak Desa menetap di Ensaid Panjang sekitar 200 tahun lalu.

KOMPAS/A HANDOKO Masyarakat subsuku Dayak Desa tinggal di Rumah Betang Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Selasa (20/8). Wisatawan bisa mengunjungi dan tinggal di rumah komunal itu sambil mengikuti aktivitas sehari-hari masyarakat.
”Warga penghuni rumah betang yang paling tua sudah mengalami perpindahan selama enam kali. Rumah betang biasanya dipindah karena sebagian struktur bangunan sudah rapuh. Hanya tiang-tiang utamanya yang biasanya masih kokoh,” ujar Sembai.

Tiang utama yang berasal dari kayu ulin atau belian gelondongan sudah berumur lebih dari 100 tahun. Umur beberapa tiang penyangga dari ulin yang berbentuk balok juga tak jauh berbeda dari tiang utama.

Seperti umumnya rumah betang milik masyarakat adat Dayak, Rumah Betang Ensaid Panjang terdiri dari beberapa bagian. Bagian paling depan yang disebut ruai adalah ruang bersama tanpa sekat yang memanjang dari ujung ke ujung betang. Ruang ini biasa digunakan untuk rapat bersama atau menerima tamu adat.

Ruang pribadi masing-masing keluarga berada di bagian kedua hingga bagian keempat. Ruang antarkeluarga dipisahkan oleh papan kayu. Bagian kedua yang dalam bahasa setempat disebut sebagai bilik baruah merupakan ruang tamu dan ruang keluarga. Ruai dan bilik baruah dipisahkan oleh telok, yakni semacam selasar yang lantainya lebih rendah dibandingkan ruai dan bilik baruah yang berfungsi sebagai tempat menyimpan berbagai perkakas, seperti lesung penumbuk padi dan peralatan menenun.

Bilik serambi adalah kamar tidur dan bilik tingka yang menjadi bagian terakhir berfungsi sebagai dapur atau tempat menyimpan perkakas.

DOK INDONESIA.TRAVEL Rumah betang.
Masyarakat Dayak Desa menggunakan beberapa jenis kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan, seperti meranti, mentangor, petir, dan durian. Kayu tidak hanya digunakan untuk tiang, tetapi juga lantai, dinding, rangka, hingga atap. Kayu ulin yang terkenal sebagai kayu kelas satu asal Pulau Kalimantan hanya terdapat pada tiang utama dan beberapa tiang penyangga. Ini berbeda dengan sejumlah betang lain di wilayah lain yang banyak menggunakan kayu ulin.

”Wilayah adat Dayak Desa lebih banyak berupa hutan gambut sehingga tak banyak pohon ulin,” ujar tetua adat Dayak Desa, Hermanus Bintang. Wilayah di luar Gunung Rentap adalah dataran rendah bergambut.

Warisan

Ketua Adat Dayak Desa Cepi mengatakan, warganya masih bertahan di rumah betang karena ingin melestarikan warisan nenek moyang. Mereka ingin menjaga warisan peradaban dan semangat gotong royong serta kebersamaan.

Rumah betang pada mulanya lahir untuk menyesuaikan kebiasaan perang suku. Supaya lebih aman, mereka yang berasal dari satu komunitas subsuku tinggal di satu tempat yang sama. Tradisi perang suku dengan pengayauan atau memenggal kepala musuh sudah diakhiri melalui Perjanjian Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah, tahun 1894 yang dihadiri oleh seluruh subsuku Dayak di Kalimantan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com