Belum lagi jika dihitung penghasilan dari usaha PT KAI memonopoli jasa angkutan penumpang kereta api (KA) di Indonesia jika pengelolaannya sungguh-sungguh dilakukan secara profesional dan berorientasi meraup keuntungan semata. Sungguh, betapa kaya rayanya badan usaha milik negara kita ini.
Dengan aset yang luar biasa ini, wajar jika manajemen PT KAI memiliki cita-cita menghidupkan kembali aset-aset yang selama ini mati untuk dijadikan museum KA terbesar se-Asia. Selain melestarikan warisan dan sejarah KA, tentu juga untuk menambah pendapatan keuangan bagi kemajuan PT KAI. Museum KA itu akan mengintegrasikan aset-aset PT KAI yang tersebar dan tak dimanfaatkan selama ini.
Menurut pejabat Unit Konservasi Warisan dan Desain Arsitektur PT KAI Tranggono Adi, baru-baru ini, aset-aset yang dimiliki PT KAI cukup besar dan tersebar di mana-mana sehingga perusahaannya diharapkan mampu membangun museum KA kelas dunia yang setara dengan museum di negara lain.
”Di Jepang juga ada museum, tetapi banyak menyimpan teknologi KA yang sudah baru, yakni kereta diesel. Mereka tak punya lokomotif KA uap seperti Indonesia. Lokomotif di Indonesia itu masih tersebar dan masih harus dikumpulkan lagi. Dari sejumlah lokasi, baru satu lokasi yang dikelola, yaitu Stasiun Ambarawa, Jawa Tengah,” katanya.
Untuk mewujudkan hal itu, PT KAI sudah membuka program perekrutan untuk mencari sarjana museologi atau studi tentang kemuseuman. Sejauh ini, PT KAI baru punya sarjana museum yang baru menguasai tata letak. PT KAI masih memerlukan sarjana yang menguasai manajemen untuk membuat strategi dan menjual kekayaan warisan KA sebagai obyek wisata.
Salah satu kekayaan yang dibanggakan adalah aset PT KAI di Semarang. Sebab, dalam sejarahnya untuk pertama kali KA justru diluncurkan dari Semarang. Waktu itu, jurusannya Semarang-Tanggung. Jalur itu dihidupkan tiga tahun setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda LAJW Baron Sloet memulai pembuatan jalan KA. Jurusan ini berkembang menjadi jurusan Semarang-Kedungjati-Ambarawa.
Namun, setelah 114 tahun, Stasiun Ambarawa ditetapkan menjadi Museum KA oleh Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin. Di museum ini tersimpan sejumlah artefak sejarah KA masa kolonial, seperti lokomotif uap tua, kereta kayu, mesin hitung, mesin ketik, dan pesawat telepon.
Aset PT KAI lain yang kini menjadi sumber pendapatan adalah gedung Lawang Sewu di pusat Kota Semarang. Gedung kosong tersebut kini banyak dimanfaatkan swasta untuk acara pernikahan, seminar, dan pameran.
Sebelumnya, gedung Lawang Sewu digunakan oleh Kerajaan Belanda sebagai kantor pusat NIS untuk operasionalisasi KA di Pulau Jawa. Namun, setelah Jepang masuk ke Indonesia, Belanda meninggalkan gedung tersebut. Akibatnya, gedung tersebut telantar dalam beberapa waktu.
Pangandaran
Di antara sejumlah aset PT KAI memang baru dua, yaitu Stasiun Ambarawa dan Lawang Sewu, yang dikelola. Lalu, bagaimana dengan aset-aset PT KAI lainnya? Kepala Humas Daerah Operasi (Daop) II Bandung Bambang Prayitno menjelaskan, masih banyak yang harus dilakukan untuk menghidupkan kembali aset PT KAI yang mati. Misalnya, revitalisasi Stasiun Pangandaran di Jawa Barat. Dengan menghidupkan kembali Stasiun Pangandaran, berarti menghidupkan jalur KA dari dan ke stasiun tersebut.
Hasrat revitalisasi semula disampaikan oleh pejabat sementara Bupati Pangandaran Endjang Naffandi. Stasiun Pangandaran berada di ibu kota kabupaten hasil pemekaran, yakni Pangandaran. Namun, jika harus direvitalisasi akan memerlukan dana yang tak sedikit. Stasiun Pangandaran berhenti beroperasi sejak 1983. Akibatnya, rel di jalur Pangandaran-Bandung yang melewati tiga terowongan sudah dihapus. Kini, jalur tersebut jadi lintasan kendaraan bermotor.