"Sustainable tourism itu menyangkut bukan hanya flora, fauna dan pemandangan tapi manusia itu harus harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Konsumsi lingkungan seperti air itu harus sesuai kadarnya, jangan diambil berlebihan," ujar Efransjah di Gedung Sapta Pesona, Kamis (26/9/2013).
Menurut Efransjah, kegiatan wisata yang dilakukan secara berlebihan juga bisa membahayakan. Misalnya saja menyelam. Jika suatu tempat ramai-ramai diselami oleh banyak orang, bisa mengganggu kehidupan yang ada di dalam laut.
"Diving itu sebenarnya nggak masalah kalau dia tidak mengeksploitasi ketika diving. Kemudian, yang menjadi masalah adalah jika orang ramai-ramai diving di tempat itu, makin banyak yang nyelam. Koral di laut itu kan hidup, dia bisa stres kalau banyak manusia yang datang," papar Efransjah.
Maka dari itu, lanjutnya, kegiatan menyelam di suatu wilayah perairan perlu diatur atau dibatasi.
"Bagaimana masyarakat mendapatkan mata pencaharian dari pariwisata dengan tidak merusak alam dengan illegal logging, pembakaran, dan sebagainya," kata Mari.
Karena itu, untuk mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan tersebut dilakukan penandatangan nota kesepahaman antara Menparekraf, Direktur Eksekutif WWF Indonesia, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Suryo Bambang Sulisto, dan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim Rachmat Witoelar di Gedung Sapta Pesona.
Nota kesepahaman dalam kurun waktu dua tahun (2013-2015) tersebut bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan pembangunan pariwisata berkelanjutan rendah karbon yang berwawasan lingkungan.