Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tragedi Diaspora Makanan Indonesia

Kompas.com - 28/09/2013, 14:07 WIB
ORANG Indonesia berada di beberapa tempat di dunia. Mereka kemudian disatukan dalam diaspora Indonesia. Tak hanya orang, naskah-naskah kuno Nusantara tersebar di sejumlah museum dan perpustakaan dunia. Keberadaan naskah ini telah dicatat dan dihimpun dalam sebuah buku berjudul ”Khazanah Dunia”. Bagaimana dengan diaspora makanan Indonesia?

Sebuah buku kecil mengenai Afrika Selatan berjudul South Africa Highlights cukup membuat terkejut penulis ketika di dalam buku itu ditemukan orang yang membuka kota Cape Town adalah orang Indonesia. Mereka adalah budak-budak dari Pulau Jawa yang dikirim ke negeri itu mulai tahun 1652 untuk membangun permukiman bagi orang Belanda yang telah menguasai wilayah itu. Mereka sangat berjasa bagi kota yang merupakan pelabuhan dan kota wisata Afrika Selatan.

Akan tetapi, sungguh sedih ketika kemudian di buku-buku lainnya yang muncul adalah cerita soal kehadiran kuliner Malaysia, sekali lagi Malaysia, di negeri itu. ”Kuliner Malaysia” yang disebut itu dibawa oleh migran-migran asal Nusantara selama beberapa periode sebelum abad ke-20. Sangat mungkin orang Malaysia juga ikut dalam migrasi ke wilayah itu untuk menyebarkan agama Islam, tetapi sepertinya maksud sesungguhnya adalah Indonesia.

Persoalan di balik itu adalah kesalahan penerjemahan ”Malay” yang dengan mudahnya oleh beberapa penulis diterjemahkan sebagai Malaysia tanpa memedulikan konteks sejarah dari Malay (Melayu) itu sendiri yang sesungguhnya lebih luas dari sekadar Malaysia. Di luar itu, sesungguhnya keteledoran kita untuk mencatat dan merawat penyebaran seni kuliner Nusantara menjadikan jejak-jejak kuliner Nusantara di sejumlah negeri hilang begitu saja.

Diaspora kuliner Nusantara banyak terkait dengan migrasi orang-orang Indonesia atau orang yang akrab dengan kebudayaan Indonesia. Pada masa awal, kehadiran orang Indonesia, seperti di Afrika Selatan karena migrasi paksa sebagai budak, merupakan bukti awal diaspora seni kuliner Nusantara. Beberapa bukti itu masih bisa ditemukan, seperti di beberapa kata dalam kuliner di kota Cape Town, yaitu barakat yang di dalam bahasa Jawa dikenal berkat. Berkat adalah sekumpulan makanan yang disajikan dalam satu wadah. Berkat ini biasanya diberikan oleh orang yang punya hajat kepada tetangga dan kenalan.

Di tempat itu juga dikenal makanan yang bernama bobotie. Buku Cape Malay Cooking menyebutkan, makanan ini sama dengan makanan Indonesia bobotok. Beberapa istilah juga masih dipakai oleh keturunan dari Indonesia, misalnya Jumuwah (hari Jumat) yang dicantumkan di waktu buka restoran. Mereka menyebut pada hari Jumuwah restoran tutup karena pengelolanya melakukan ibadah jumatan. Salah satu restoran yang menyajikan makanan Nusantara adalah Restoran The Quarterdeck yang berada di Hotel The Portswood.

Proses pemindahan orang untuk dipekerjakan di beberapa tempat, seperti di Suriname dan Kaledonia Baru, juga membawa seni kuliner Nusantara ke tanah baru. Bahkan, restoran-restoran Suriname di Belanda masih menyajikan menu-menu yang berasal dari Nusantara. Salah satu yang menonjol adalah sambal.

Pergolakan politik juga menjadi penyebab penyebaran kuliner Nusantara ke negeri lain. Ketika Indonesia merdeka, beberapa orang Belanda dan orang asing keluar dari Indonesia. Tidak sedikit di antara mereka yang memahami kuliner di Nusantara. Sebagai contoh, Pete Alfonso, pria berdarah Indonesia-Belanda, sempat menetap di Manila, Filipina. Ia mendirikan Cafe Indonesia yang disebut sejarawan kuliner setempat sebagai kafe pertama di negeri itu. Ia memperkenalkan makanan Indonesia, mulai dari sate, nasi goreng, gado-gado, hingga sayur lodeh. Beberapa makanan Nusantara tersebut masih terkenal di Manila meski kafe itu sudah tidak ada jejaknya lagi.

Pergolakan politik tahun 1965 juga telah menyebabkan sejumlah orang Indonesia berada di pengasingan. Mereka juga ada yang mendirikan restoran dan memperkenalkan makanan-makanan Nusantara. Salah satunya adalah Restoran Indonesia di Paris. Salah satu pemiliknya, yaitu Sobron Aidit (almarhum), pernah menulis buku dengan judul Melawan dengan Restoran yang berisi mengenai restoran itu.

Kehadiran orang Indonesia karena pekerjaan dan studi di sejumlah negara juga menghadirkan seni kuliner Indonesia di beberapa negara, seperti Australia, Amerika Serikat, Jerman, Belanda, dan China. Mereka adalah keluarga para diplomat dan juga mahasiswa-mahasiswa yang cukup lama berada di luar negeri.

Dalam hal ini, sangat terlihat wirausahawan etnis Tionghoa sangat besar dan berjasa dalam diaspora makanan Nusantara. Dengan kejelian melihat peluang bisnis dan keterampilan seni kuliner yang memadai, mereka membuka restoran di beberapa negeri. Mereka sangat agresif menawarkan makanan-makanan baru di sejumlah negeri.

Salah satu kisah yang menarik adalah kisah seorang mahasiswa Tionghoa asal Medan yang bersekolah di Jerman. Saat kuliah, ia kerap mendapat tugas sebagai seksi konsumsi dalam pertemuan mahasiswa Indonesia. Dari tugas itu, keterampilan mengolah makanan terasah. Dari pengalaman inilah, ia melahirkan sebuah restoran makanan Indonesia.

Dari beberapa kehadiran makanan Indonesia di sejumlah tempat, terdapat hal menarik. Makanan Nusantara kerap bercampur dengan makanan dari berbagai negara. Kehadiran makanan Nusantara itu kadang berdampingan dengan makanan negara lain namun juga kadang dikombinasikan dengan menu makanan negara lain.

Di sebuah restoran Afrika Selatan, makanan Nusantara sudah bercampur dengan makanan India, makanan Barat, dan juga makanan setempat. Percampuran ini tak diketahui penyebabnya. Di restoran Suriname, menu makanan Nusantara bercampur dengan makanan India dan China. Pertemuan ini terjadi karena orang-orang dari Nusantara, China, dan India merupakan orang- orang yang sempat dikirim ke Suriname pada masa kolonisasi.

Di sebuah restoran di Australia, makanan Nusantara bertemu dengan makanan Myanmar karena salah satu juru masak restoran itu berasal dari Myanmar hingga beberapa makanan Myanmar ada di restoran itu. Di sebuah restoran di Jerman makanan Nusantara bertemu dengan makanan Vietnam karena istri pemilik restoran itu adalah perempuan Vietnam.

Dari beberapa kesempatan melihat restoran Indonesia di beberapa negara sebenarnya ada beberapa menu yang sudah cukup ternama, seperti nasi goreng, sate, dan rendang yang tidak hanya diusahakan orang Indonesia, tetapi juga oleh orang asing. Menu-menu itu setidaknya boleh dikatakan telah mengalami internasionalisasi.

Akan tetapi, sayang sekali sejumlah jejak diaspora makanan Nusantara itu tidak tercatat dengan baik sehingga tidak diketahui penyebarannya secara pasti. Lebih parah lagi, meski kehadiran seni kuliner Nusantara cukup kuat, tetapi tenggelam dengan sejumlah menu makanan yang lebih terkenal, seperti menu makanan China, Eropa, Thailand, dan Vietnam. Boleh dibilang ini sebuah tragedi diaspora makanan Nusantara yang sebenarnya sudah tersebar ke beberapa negara.

Diplomasi kuliner Indonesia juga kurang agresif. Kasus seperti di Afrika Selatan sebenarnya bisa ditangani dengan cara menghadirkan menu-menu makanan Nusantara secara lebih intensif agar mereka bisa membedakan menu makanan Malaysia dengan menu makanan Nusantara. Kekayaan kuliner Indonesia pasti melampaui kekayaan kuliner negeri tetangga.

Cara lainnya adalah menggunakan diplomasi batik. Promosi kuliner perlu disertakan dalam promosi batik. Jadi, batik di depan kuliner mengikuti di belakang. Batik sangat dikenal di seluruh penjuru dunia. Bahkan, di negeri kecil Swasi ditemukan galeri batik. Promosi dan pengenalan batik diikuti dengan pengenalan kuliner sehingga diaspora makanan Indonesia makin berkelana ke seluruh penjuru dunia. (Andreas Maryoto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com