Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"So-maek" dan "Chi-maek", Menu "Gaul" di Korea Selatan

Kompas.com - 14/10/2013, 05:12 WIB
Wisnu Dewabrata

Penulis

SEOUL, KOMPAS.com — Kebanyakan orang Korea Selatan, terutama para pria, dikenal gemar "minum" dan punya tradisi panjang soal minuman beralkohol. Bagi mereka, minum alkohol dianggap biasa dalam konteks pergaulan, terutama untuk mengakrabkan diri antara sesama teman dan rekan kerja.

Ada banyak jenis minuman beralkohol, mulai dari yang kandungannya di bawah lima persen, macam soju atau makgeolli, hingga yang kadarnya mencapai 20 sampai 45 persen, macam jeonju leegangju, munbaeju, atau andong soju.

Dari kebiasaan minum itu juga muncul sejumlah istilah dan perilaku minum, yang identik dengan pergaulan. Sebut saja macam chi-maek, kependekan chicken-maekju, menu berisi ayam goreng dan bir. Istilah itu merujuk kebiasaan minum bir berteman ayam goreng.

Ada banyak kedai chi-maek bertebaran, setidaknya di semua sudut ibu kota Seoul. Juga ada berbagai macam restoran ayam goreng terkenal, yang popularitasnya bahkan mengalahkan restoran cepat saji asal Negeri Paman Sam.

Selain terminologi chi-maek, juga dikenal istilah so-maek, alias oplosan soju dan bir. Kalangan anak muda, terutama para mahasiswa, gemar menikmati minuman campuran itu, terutama seusai ujian. Mereka bahkan punya "resep" campuran sesuai selera masing-masing.

Baik bir maupun soju, keduanya memang dapat dengan mudah dibeli di berbagai minimarket kecil, yang bertebaran di hampir setiap 100 meter di kawasan permukiman. Walau tujuannya untuk sekadar meluweskan pergaulan, tak urung kebiasaan minum alkohol kerap memicu masalah, terutama di kalangan rumah tangga.

Meski begitu, aturan hukum yang diterapkan terbilang tegas. Seseorang tak boleh membawa kendaraan setelah menenggak minuman keras, terutama soju. Batas maksimal untuk bisa mengemudi setelah menenggak minuman keras adalah tiga sloki kecil. Hukuman keras dan denda tinggi menanti mereka yang nekat dan kedapatan melanggar.

Ketatnya aturan soal konsumsi alkohol ini pun memunculkan jasa sopir panggilan, yang dibayar untuk membawakan mobil dan mengantarkan "si pemabuk" hingga selamat sampai rumahnya. "Tapi ongkosnya mahal," ujar Christina, pemandu wisata yang adalah warga Seoul.

Ongkos sopir panggilan itu, sebut Christina, minimal 30 dollar AS untuk satu kali jemput dan antar sampai ke rumah. "Saya selalu marah kalau suami pulang diantar sopir panggilan itu. Dia menghabiskan uang yang besar hanya karena menuruti ajakan minum teman-teman kantornya," gerutunya.

Pemandangan orang mabuk di jalan-jalan atau angkutan umum macam kereta api bawah tanah (subway), terutama di akhir pekan, adalah fenomena yang biasa terlihat selama Kompas berada di Seoul, dua bulan terakhir.

Pada poster-poster dan bahkan tayangan pemberitahuan di layar televisi yang terpasang di stasiun-stasiun ataupun KA bawah tanah juga diingatkan bahayanya mabuk di tempat umum tanpa didampingi teman atau orang kepercayaan. Mereka bukan tidak mungkin celaka, seperti terjatuh dari tangga berjalan dari dan menuju terowongan bawah tanah atau bahkan terjepit pintu KA.

Dalam ilustrasi di poster-poster peringatan itu, para pemabuk digambarkan dengan karikatur kepiting atau gurita, yang mencekal botol minuman. Kenapa kepiting atau gurita? Konon menurut orang Korea, kedua hewan air itu bergerak atau berjalan tak beraturan layaknya orang mabuk.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com