Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Daya Wanita pada Sehelai Kain

Kompas.com - 18/10/2013, 19:35 WIB
Wisnubrata

Penulis

Sumber KOMPAS

TANGAN Dorsina Letelay Katipana (42) lincah menggerakkan alat tenun. Memasukkan benang pakan di sela-sela benang lungsin dari kiri dan kanan secara bergantian. Setiap kali benang pakan selesai dimasukkan selalu diikuti dengan menekan anyaman antarbenang dengan sebatang kayu.

”Buk…buk…,” suara bilah kayu yang mengenai anyaman benang memecah kesunyian Dusun Mesiapi, Desa Wonreli, Pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, siang, akhir Juni lalu. Dengan tekun, Dorsina merangkai helai demi helai benang di bawah kennenon atau gubuk kecil tempat menenun di depan rumahnya.

Di bagian kain yang sudah selesai ditenun, motif manusia (rimanu) dan pernak-pernik di sekitarnya mulai muncul dalam latar kain berwarna dominan hitam dan merah. Merah perlambang tanah, sesuai warna tanah di Kisar. Adapun hitam artinya menyatu dengan bumi. Kedua warna itu biasanya dikombinasikan dengan warna- warna yang tidak mencolok, seperti hijau tua atau ungu.

Kain bermotif manusia dan kehidupannya itu menjadi salah satu barang seserahan wajib bagi calon pengantin di Kisar. ”Karena seserahan wajib, pantang bagi pasangan suami-istri untuk menjual kain tenun itu,” ujar Fernando Richard Rupilu (32), warga Kisar yang saat itu sedang mempersiapkan pernikahannya.

Selain untuk pernikahan, kain tenun ikat juga umum digunakan dalam berbagai acara adat dan peribadatan, termasuk untuk menutupi jenazah. Bahkan, tenun ikat ini juga dijadikan harta keluarga yang diwariskan dari orangtua kepada setiap generasi berikutnya.

Budaya menenun di Kisar merupakan tradisi turun-temurun. Kemampuan menenun menjadi penanda kedewasaan dan kesiapan seorang perempuan untuk berumah tangga. Namun, kini, sulit mencari perempuan Kisar yang mampu menenun. Minat remaja putri untuk menenun semakin hilang.

”Dulu, perempuan Kisar baru boleh menikah jika dia sudah bisa menenun. Sekarang tidak lagi. Banyak yang lebih memilih membeli kain yang sudah jadi,” ujar Dorsina.

Di Kepulauan Tanimbar, kini, menenun juga hanya dilakukan para perempuan paruh baya. ”Tak ada remaja putri yang menenun,” kata Maria Goretti Sampono (50), penenun asal Desa Atubul Raya (Atubul Dol), Kecamatan Wertamrian, Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Di kepulauan yang juga disebut Timor Laut itu, menenun hanya boleh dilakukan oleh perempuan. Laki-laki dilarang menenun karena dalam adat tugas laki-laki adalah berperang dan melindungi perempuan.

Motif yang paling sering digunakan di Tanimbar adalah bunga. Hitam menjadi warna wajib, apa pun warna kombinasinya.

Florence Sahusilawane dalam Tenun Tradisional Masyarakat Pulau Kisar, Kecamatan Pulau-Pulau Terselatan (2002) memaparkan, kemampuan menenun masyarakat di pulau-pulau di Maluku Tenggara Barat dan Maluku Barat Daya dipengaruhi oleh budaya tenun di Flores, Sumba, dan Timor bagian barat. Selain di Kisar dan Yamdena, keterampilan menenun juga ditemukan di Pulau Wetar, Leti, dan Babar.

Tidak semua pulau kecil yang terbentang antara Pulau Timor dan Kepulauan Kei itu memiliki budaya menenun. Bahkan, menurut catatan P Drabbe MSC tentang Etnografi Tanimbar (1940), menenun merupakan pantangan di Pulau Sera yang berada di sebelah barat Pulau Yamdena.

Meski demikian, kain tenun tetap ditemukan di pulau-pulau yang tidak memiliki budaya menenun. Dulu, kain itu diperoleh melalui barter dengan hasil bumi. Kini, kain-kain itu menyebar hingga ke mancanegara melalui perdagangan.

Pada sebagian masyarakat, seperti di Pulau Fordata, yang menyebar bukan hanya kain tenunnya, tetapi juga keterampilan menenunnya. Kemampuan menenun masyarakat di pulau yang terletak di ujung utara Kepulauan Tanimbar itu diperoleh dari masyarakat di pantai timur Yamdena.

Kain tenun di setiap pulau memiliki motif dan warna tertentu. Bahkan, motif dan warna itu juga menjadi penanda stratifikasi sosial masyarakat. Ini membuat Nico de Jonge dan Toos van Dijk dalam Forgotten Islands of Indonesia (1995) menyebut, asal muasal daerah dan pemilik kain bisa ditebak hanya dengan melihat motif dan warna utama kain yang dikenakan.

Walau motif kain sangat beragam, motif yang digunakan biasanya merupakan simbolisasi kehidupan yang dilekatkan pada kain, perlambang kesuburan bumi dan wanita.

Suwati Kartiwa dalam Tenun Ikat (1987) menyebut motif yang sering digunakan untuk tenun di wilayah yang kini masuk Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Maluku Barat Daya itu adalah ruas bambu, ikan, bunga, pohon kehidupan, ayam, burung, serta manusia.

Di Tanimbar, sehelai kain tenun ikat bisa dihargai hingga Rp 700.000 per lembar. Sementara itu di Kisar, sehelai kain tenun untuk seserahan harganya bisa mencapai Rp 5 juta.

Walau mahal, Dorsina dan Maria Goretti mengaku tetap ada pesanan kain tenun. Karena itu, meski sepi pembelian dari wisatawan ataupun pejabat, mereka yakin kain tenun Kisar dan Tanimbar tetap akan hidup karena telah menjadi bagian dari kepercayaan adat yang diyakini kuat oleh masyarakat.

(Gregorius M Finesso/M Zaid Wahyudi/Pascal SB Sadju)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber KOMPAS
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com