Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nikmatnya Kehidupan dari Sungai Ciwulan

Kompas.com - 20/10/2013, 16:44 WIB
PETIR bersahutan dan hujan deras turun saat Mastur (45) menyusuri lembah sedalam 300 meter dari rumah panggungnya yang hangat di Kampung Buligir, Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Tasikmalaya, Jawa Barat. Lima lampu 10 watt di rumahnya kadang mati kadang hidup. Hal sama dialami 126 warga Kampung Buligir lainnya.

Tujuannya adalah pintu air Sungai Ciparay yang lebarnya tidak lebih dari setengah meter. Dugaannya benar, air sungai meluber. Sampah daun dan rumput kering membuat aliran sungai mampat dan tidak lancar. ”Harus segera dibersihkan. Kalau tidak akan mengganggu aliran air ke generator listrik berkapasitas 2.000 watt,” katanya.

Menurut Mastur, aliran air yang tidak lancar membuat generator tidak bisa menghidupkan lampu. Mastur pernah dua kali terpental akibat tersengat listrik saat memperbaiki sendiri generator yang rusak.

Listrik hanya salah satu manfaat yang bisa diambil masyarakat Kampung Parentas dari Sungai Ciparay, salah satu anak Sungai Ciwulan. Dipisahkan jalan rusak dan berada sekitar 40 kilometer dari pusat kota Kabupaten Tasikmalaya membuat listrik negara belum mampir di Parentas. Kincir angin dan generator bertenaga air Sungai Ciparay sudah dicoba meskipun pasokan listrik tetap saja terbatas. ”Untung ada Sungai Ciparay. Kalau tidak ada, mungkin kampung kami ini seperti kawasan terisolasi,” katanya.

Dari sungai yang sama masyarakat juga menggantungkan pasokan air bersih. Terutama saat musim kemarau, warga terbiasa turun naik lembah untuk satu-dua jeriken air bersih. Hasanudin (24), warga Buligir lainnya, mengatakan, Sungai Ciparay juga menjadi sumber air utama bagi sawah seluas 300 meter persegi milik warga.

”Saat Sungai Ciparay mampat tertutup material letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982, warga Buligir memilih menjadi transmigran ke Sumatera. Saat itu dari 300 orang, hanya tersisa 10 orang. Semua sendi kehidupan lumpuh saat itu,” katanya.

DAS Ciliwung

Sungai Ciwulan, induk Ciparay, secara administratif melintasi Kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Kota Tasikmalaya. Sungai sepanjang 114 kilometer ini memiliki 404 anak sungai yang menjadi tumpuan hidup masyarakat. Mereka memanfaatkan aliran Ciwulan sebagai sumber air bersih, pertanian, hingga perikanan.

Yang paling tampak adalah sumbangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciwulan pada sektor perikanan Tasikmalaya. Tercatat ada 5.838 hektar dari total 7.572 hektar kolam air tawar menggunakan air DAS Ciwulan. Dalam setahun, dari kolam seluas itu dihasilkan 31.787 ton ikan dari total 47.727 ton ikan asal Tasikmalaya. Jika menghitung harga ikan berkisar Rp 8.000-Rp 75.000 per kilogram, dalam setahun air DAS Ciwulan berperan menghasilkan Rp Rp 254 miliar-Rp 2,3 triliun per tahun atau yang terbesar di Jawa Barat.

”Tanpa DAS Ciwulan, nikmat itu tidak akan pernah dirasakan pembudidaya ikan,” kata Kepala Seksi Budidaya Ikan di Dinas Peternakan, Kelautan, dan Perikanan Kabupaten Tasikmalaya Asep Thardiaman. Tidak hanya itu, sebanyak 49.631 hektar sawah di Tasikmalaya yang dikenal sebagai lumbung pangan Priangan Timur juga bergantung pada DAS Ciwulan. Dalam setahun, lahan sawah itu bisa menghasilkan sebanyak 295.734 ton beras.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya Hendri Nugroho mengatakan, jika menghitung harga beras Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram, DAS Ciwulan memegang peranan penting memutar uang Rp 1,4 triliun-Rp 1,7 triliun per tahun. Perannya akan semakin terasa saat pasokan air bersih 36.000 pelanggan Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Sukapura menggantungkan pasokan air pada sumber air di sekitar DAS Ciwulan.

Meskipun menghidupi ribuan warga Tasikmalaya, jarak antara kehancuran dan pelestarian Ciwulan sangat tipis. Penambangan pasir di sekitar anak sungai yang berada dekat dengan Gunung Galunggung menjadi ancaman utama.

Burhan Mulyadi, aktivis Walhi di Tasikmalaya, mengatakan, beberapa perusahaan pasir masih ada yang nakal dengan melakukan pencucian pasir sembarangan di anak Ciwulan. Contohnya saat beberapa perusahaan mencuci pasir di hulu Sungai Cikunir begitu saja sehingga menyisakan air keruh bagi sumber air tanah warga, sawah, atau kolam ikan di bawahnya.

”Sawah dan padi rusak berat kalau air sungai sudah bercampur lumpur,” kata Jajang (28), petani Kampung Citamperas, Desa Tawang Banteng, Kecamatan Sukaratu. Air keruh Cikunir juga berakhir di Ciwulan. Akibatnya, Jajang mengatakan, hasil panen dari 700 bata sawah miliknya tidak bisa diandalkan sejak dua tahun terakhir.

Jika sebelumnya sawah bisa menghasilkan 6-8 ton per panen selama empat bulan, saat ini paling banyak hanya mampu panen 7 kuintal per panen. Pendapatan pun menurun drastis. Jika sebelumnya mendapatkan Rp 2 juta-Rp 3 juta per panen, kini ia harus menanggung rugi Rp 1 juta per panen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com