Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kulit Lantung Khas Bengkulu Menuju Warisan Dunia

Kompas.com - 24/10/2013, 18:42 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com - Tak lengkap rasanya bila kita berkunjung atau wisata ke sebuah tempat jika pulang tanpa membawa cenderamata sebagai bukti atau juga kenang-kenangan bahwa kita pernah mengunjungi tempat yang dimaksud.

Begitu pula jika berkunjung ke Kota Bengkulu, cenderamata di kota ini sebenarnya sama dengan cenderamata daerah wisata pada umumnya, bisa itu berupa kalung, tas, jam, topi dan lain sebagainya.

Namun ada yang unik dari bahan dasar pembuatannya. Apakah itu? Namanya kulit lantung. Ternyata, kulit lantung yang biasa dijadikan para perajin Bengkulu untuk membuat cenderamata memiliki cerita kelam yang panjang dalam mengiringi kemerdekaan Republik Indonesia.

Tak salah bila peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Undri, SS, M.Si dan Nurmatias dalam sebuah penelitiannya menyatakan bahwa "Kain Lantung: Kain Terjajah".

Dalam sebuah penelitian yang disampaikan Undri dan Nurmatias dalam bentuk makalah pada Desiminasi Pencatatan Warisan Budaya Tak Benda di Kota Bengkulu, Rabu (23/10/2013), secara gamblang mengatakan bahwa kulit lantung dikenal masyarakat Bengkulu sejak masa penjajahan Jepang tepatnya pada 1943 atau satu tahun Jepang menanamkan kekuasaannya di Indonesia.

"Faktor kerasnya hidup, kerasnya tekanan penjajah menjadikan keadaan perekonomian menjadi berat sehingga menyulitkan masyarakat dalam mencari atau membeli pakaian atau katun dari drill. Oleh karena itu timbul pemikiran bagaimana mendapatkan pengganti kain untuk pelindung tubuh, maka muncul ide pembuatan kain lantung sebagai alternatif dengan hutan yang memiliki bermacam jenis pohon pada waktu itu menjadi bahan pokoknya," kata Undri.

Artinya, kulit lantung yang dijadikan pakaian pada masa penjajahan itu merupakan bagian dari perjalanan kelam sejarah bangsa karena benda ini keberadaannya lahir dari hasil budaya masyarakat Bengkulu pada situasi dan kondisi ketika perjuangan mengusir penjajah Jepang.

Masyarakat Bengkulu dalam membuat kain lantung menggunakan jenis pohon dengan kulit bergetah karena kulit kayu yang bergetah dinilai tidak mudah rusak. Umumnya kulit kayu yang digunakan untuk menghasilkan lantung itu adalah pohon karet hutan, pohon ibuh dan terap.

Pembuatan lantung dimulai dari memotong pohon karet hutan, ibuh dan terap untuk diambil kulitnya sesuai dengan ukuran yang diinginkan selanjutnya kulit kayu tersebut dipukul-pukul dengan alat pemukul kayu yang dibuat sedemikian rupa.

Pada saat dipukul-pukul kulit kayu yang telah terpisah dari kayu sambil dilipat hingga menjadi lembaran tipis. Lembaran tipis inilah yang dinamakan lantung. Semakin tua usia pohon kayu yang diambil lantungnya maka akan semakin bagus kualitas lantung. Lantung yang berkualitas baik biasanya berwarna cokelat, ini biasanya didapat dari pohon kayu karet hutan.

Penggunaan kain lantung biasanya disesuaikan dengan keinginan sipemakai artinya kain lantung tersebut dapat dibentuk menjadi celana atau hanya kain saja. Sebagai penyatu atau penyambung kain biasanya digunakan benang atau getah karet itu sendiri.

Seiring dengan waktu, Indonesia merdeka, bertahap perekonomian rakyat membaik, penggunaan kain lantung perlahan mulai ditinggalkan. Sebagai ganti kulit lantung tersebut beralih fungsi menjadi kerajinan tangan masyarakat Bengkulu yang dapat mendatangkan omzet jutaan rupiah.

Dalam penelitian itu disebutkan adalah Bustami seorang perajin asal Muaralabuh, Sumatera Barat, yang merantau ke Kota Bengkulu pada 1997. Ia mendirikan usaha kerajinan kulit lantung. Dari ide kreatif digabung dengan jiwa usaha maka jadilah kulit lantung sebagai bahan dasar bagi pernak-pernik cenderamata andalan masyarakat Kota Bengkulu.

Dari ide Bustami, hingga kini kerajinan kulit lantung semakin banyak tumbuh menjamur di Kota Bengkulu, apalagi dengan ditetapkannya sentra cenderamata di Jalan Soekarno-Hatta oleh Pemerintah Kota Bengkulu beberapa tahun lalu.

Harga yang dijual beragam tergantung jenis, ukuran cenderamata yang dibuat dari harga terendah Rp 1.000 untuk gantungan kunci hingga ratusan ribu rupiah untuk barang jadi seperti tas wanita, dompet, jam dinding dan lain sebagainya.

Deklarasi pemerintah daerah, mengusulkan kulit lantung, festival tabut, serta naskah kuno ka ga nga menjadi warisan dunia yang diajukan ke UNESCO pada Rabu (23/10/2013) merupakan langkah cerdas dan membanggakan Provinsi Bengkulu.

"Bengkulu memiliki warisan budaya yang cukup banyak dan membanggakan maka sudah wajar jika pemerintah mengajukan untuk dijadikan warisan dunia dan itu tidak berlebihan," ungkap Soni Budiman, salah seorang warga Bengkulu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com