Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/10/2013, 08:32 WIB
APA pun kuenya, beraslah bahannya. Begitulah, hampir semua kue yang dihidangkan di acara pesta terbuat dari beras. Maklum saja, beras buat orang Bugis-Makassar adalah bahan makanan mulia yang secara mitologis berasal dari titisan dewata.

Hiruk-pikuk terjadi di dapur keluarga bangsawan Andi Dewa Bochari-Rosmiati Lalogau di Pangkajene, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu. Puluhan ibu sambil bersenda gurau bahu-membahu menyiapkan aneka kue untuk dihidangkan pada pesta pernikahan putri keluarga tersebut. Ada yang meracik adonan kue, menggiling pisang, mengocok telur, membungkus, mengukus, atau menggoreng kue.

Norma yang masih kerabat dekat Rosmiati Lalogau mengatakan, ada 12 macam kue yang dibuat untuk dihidangkan pada pesta perkawinan tersebut. ”Kami membuat kue sebanyak itu karena yang menggelar pesta adalah keluarga bangsawan. Kalau keluarga, kebanyakan paling hanya empat macam,” katanya.

Pada masa lalu, menurut Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Nurhayati Rahman, kaum bangsawan biasanya menghidangkan 40 jenis makanan saat pesta perkawinan. ”Itu disebutkan di lontara, tetapi tidak dirinci,” ujarnya.

Sebagian kue yang dibuat keluarga Rosmiati termasuk kategori harus ada di acara rangkaian pesta perkawinan. Kue tersebut antara lain barongko, kaddo minyak, sikaporo, binangka, cucuru, putri sala’, dan baje’. ”Kalau kue itu tidak ada, rasanya pesta perkawinan tidak lengkap,” ujar Norma.

Di sudut dapur keluarga Andi, kami menyaksikan pembuatan barongko yang berbahan bubur pisang kepok, santan, telur, gula pasir, dan kenari. Adonan itu dibungkus daun pisang dan dikukus. Sejak masih adonan mentah, aroma kue itu telah menggugah selera.

Di sudut lain, tujuh ibu sibuk mengolah kaddo minyak yang dihidangkan pada malam pacar (malam sebelum pernikahan dilakukan) di rumah mempelai wanita. Hidangan itu terbuat dari beras ketan, santan, dan bumbu, antara lain bawang merah, bawang putih, serta lengkuas. Bahan itu diolah menjadi nasi ketan. Di dalamnya dipendam ayam goreng.

Yang menarik, kaddo minyak hanya boleh dibuat oleh ibu-ibu yang telah memasuki masa menopause. ”Jika tidak, banyak yang percaya kaddo minyak tidak akan matang,” kata koordinator masak Murisna (64).

Kami mencicipi barongko yang baru saja masak. Rasanya manis sekali dengan jejak telur, pisang, dan santan yang kuat. Kecuali kaddo minyak dan sikaporo, hampir semua kue yang dibuat rasanya manis. Kami menyantapnya dengan secangkir kopi pahit.

Hal yang sama dilakukan James Brooke, petualang dari Inggris yang singgah ke sebuah acara resepsi di Istana Bone pada abad ke-19. Ia menuliskan pengalamannya, ”Saya disuguhi banyak jenis makanan ringan dan kue yang sangat enak, kopi yang rasanya senikmat (kopi) di Istanbul atau Paris, dan teh yang tidak kalah dengan (teh) di Kanton” (Christian Pelras, Manusia Bugis, 2006).

Arkeolog dari Universitas Hasanuddin, Iwan Sumantri, mengatakan, tradisi menghidangkan kue manis di acara makan besar merupakan salah satu ciri orang-orang Austronesia. ”Rasa manis itu terkait dengan konsep kuasa hegemoni. Makanya, kami orang Bugis dari dulu selalu diwanti-wanti untuk membuat kue manis. Kalau tidak manis, dianggap pelit,” katanya.

Rasa manis kue juga bermakna harapan dan rasa syukur. ”Makanya, orang yang baru beli mobil dan naik pangkat pun ada yang menunjukkan rasa syukur dengan membuat kue manis,”
kata Ahmad Saransi, Kepala Bidang Pembinaan dan Pengembangan Kearsipan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.

Serba beras

Kue-kue pesta sarat makna yang dibuat untuk acara-acara penting di Bugis-Makassar hampir semuanya dibuat dari beras. Nurhayati menjelaskan, dalam konteks budaya Bugis-Makassar beras menduduki posisi sangat penting dan sangat dimuliakan karena dianggap titisan dewa. Hal itu disebutkan dalam mitologi I La Galigo.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Sejumlah ibu rumah tangga menyelesaikan pembuatan kaddo’ minyak untuk merayakan pesta pernikahan di kawasan Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan, pada awal Mei 2013.

Syahdan, anak perempuan Batara Guru bernama We’ Oddang Riuq meninggal tidak lama setelah dilahirkan. Beberapa hari kemudian ketika Batara Guru berziarah ke makam itu, ia melihat di atas makam tumbuh berbagai jenis rumput aneh yang sebenarnya padi. Belakangan, Datu Patotoqe memberi tahu bahwa We’ Oddang Riuq telah diserahkan kepada manusia dalam bentuk Sangiang Serriq demi kelangsungan hidup manusia.

”Meski itu hanya mitologi, kisah Sangiang Serriq berakar cukup kuat dalam budaya Bugis-Makassar,” ujar Nurhayati. Dari bahan makanan yang mulia inilah, kue-kue yang dianggap penting lahir.

Faktor lingkungan juga memengaruhi corak makanan suatu komunitas masyarakat. Sejak berabad-abad lalu, Sulawesi Selatan surplus beras. Beras yang melimpah sebagian diekspor ke luar Sulawesi Selatan. Thomas Staverson dalam Letter from Makassar, 1618, mencatat, dalam satu bulan orang Inggris membeli 450 ton beras dari Maros (Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, 2011). Hingga kini, Sulawesi Selatan masih surplus beras lebih dari 2 juta ton. Sebanyak 500.000 ton beras di antaranya merupakan beras kelas premium yang diekspor ke sejumlah negara, seperti Korea Selatan, Jepang, Filipina, Singapura, dan Timor Leste.

Karena beras melimpah, tidak heran jika makanan berbahan beras juga melimpah. Hal itu sejalan dengan dalil Penny Van Esterik yang menyebutkan, makanan dan budaya makan suatu komunitas ditentukan oleh bahan makanan yang melimpah di alam.

Saransi menambahkan, beberapa lontara menyebutkan, akar dari semua kue Bugis-Makassar adalah sokko atau songkolo yang semula dibuat untuk persembahan kepada dunia atas, tengah, dan bawah. Jadi, sokko memiliki dimensi ritual. Tidak mengherankan jika penguasa Bone, Arung Palakka, pernah bernazar akan membuat sokko setinggi gunung jika berhasil mengalahkan Kerajaan Gowa.

Selanjutnya, kata Saransi, sokko melahirkan turunan kue berbahan beras atau ketan lainnya, seperti pipang, baje’, dan sikaporo. Kita bisa menemukan kue-kue berbahan mulia tersebut di momen mulia, seperti pesta perkawinan. (Budi Suwarna dan Aswin Rizal Harahap)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com