Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gelas Besar untuk "Pembesar"

Kompas.com - 25/10/2013, 16:35 WIB
HIERARKI sosial tecermin di meja makan pada sebagian orang Bugis-Makassar. Siapa yang mendapat jatah gelas dan piring besar, dialah ”orang besar”. Seberapa besar gelas dan piring Anda?

Waktu makan malam tiba. Haji Lalogau Daeng Tappu (70) bersama anak dan cucu duduk mengelilingi meja makan berbentuk bundar. Di atas meja tertata aneka masakan, mulai dari sate, ikan bolu (bandeng) bakar, hingga sup. Mereka bersantap dalam diam. Begitulah adab orang Bugis-Makassar di meja makan.

Tidak ada yang istimewa di momen makan malam keluarga Lalogau, September lalu. Yang menarik perhatian kami justru ukuran gelas dan piring makan Lalogau yang terbilang jumbo. Sementara itu, anak-cucunya menggunakan gelas dan piring berukuran normal.

”Tradisi orang Bugis-Makassar memang seperti itu. Kepala keluarga atau pencari nafkah utama di suatu rumah selalu mendapat jatah gelas dan piring berukuran paling besar. Itu semacam penghormatan,” tutur budayawan Asdar Muis, yang juga menantu Lalogau.

Meski tidak sekuat dulu, tradisi itu masih berlaku di banyak keluarga Bugis-Makassar, termasuk generasi muda, seperti Roni Salasa (32). Ia mengatakan, setelah menikah, istrinya langsung mengajaknya ke pasar untuk membeli perabotan dapur. ”Yang pertama ia beli ternyata gelas dan piring paling besar, paling bagus, dan paling mahal untuk saya. Dia sendiri memilih gelas dan piring ukuran biasa,” ujar Roni terkekeh.

Istrinya juga membeli beberapa set gelas dan piring khusus untuk keluarga besar dan tamu yang sering bertandang ke rumah. ”Kami memilah-milah mana gelas untuk saya, istri, keluarga besar, dan tamu. Makanya, lemari makan kami isinya gelas dan piring melulu,” ujar guru di sebuah SMA di Makassar.

Sebenarnya Roni tidak ingin diperlakukan istimewa di rumah, apalagi zaman telah berubah. ”Apa mau dikata, kalau istri saya tidak memperlakukan saya seperti itu, nanti dia dimarahi ibu dan tantenya,” kata Roni.

Kepala vs buntut

Tidak hanya urusan peralatan makan, dalam segala hal, pencari nafkah utama diperlakukan istimewa di rumah. Ramli mencontohkan, jika istrinya memasak ikan, bagian kepala ikan akan disajikan untuk suami. Pasalnya, kepala ikan merupakan simbol kepemimpinan. Istri akan memakan bagian badan, sedangkan anak mendapat ekor.

Ramli mengatakan, saat ini tidak semua orang Bugis-Makassar paham makna filosofis yang terkandung dalam setiap potongan ikan. Ramli tahu persis sebab setiap kali ia merekrut pekerja tambak, ia selalu mengetes mereka dengan ikan. Ramli biasanya mengajak calon pekerjanya makan bersama. Saat itulah, Ramli menyodorkan dua potong ikan. Satu potong bagian kepala, satu potong bagian buntut.

”Kalau calon pekerja itu mengambil kepala, saya tidak akan menerimanya. Kalau dia ambil bagian ekor, saya akan terima,” ujar Ramli.

Menurut dia, calon pekerja yang mengambil kepala, selain tidak tahu adat, biasanya berkarakter mau enak sendiri. Sementara itu, calon pekerja yang mengambil ekor biasanya orang yang ulet dan menurut. ”Percaya atau tidak, hingga sekarang saya tidak pernah salah memilih karyawan,” kata Ramli.

Sejak kapan permainan simbol di meja makan itu dipraktikkan? Ahmad Saransi, Kepala Bidang Pembinaan dan Pengembangan Kearsipan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, memperkirakan, tradisi ini ada sebelum Islam masuk ke Sulsel abad ke-16. Dasarnya adalah naskah lontara yang menjelaskan tata cara jamuan makan untuk raja dan bangsawan.

Naskah itu menyebutkan, makanan untuk kalangan bangsawan disajikan di atas baki dengan piring susun yang sarat dengan aneka makanan. Semakin tinggi susunan piringnya, semakin tinggi derajat kebangsawanannya. Piring dan wadah minum dipilih yang paling besar dan bagus sebagai tanda kebesaran. Piring dan gelas itu diberi alas tiga lapis untuk bangsawan tinggi, sementara dua lapis untuk bangsawan yang lebih rendah. Peralatan makan rakyat kebanyakan tidak diberi alas.

Bangsawan biasanya tidak akan menghabiskan makanan yang disajikan untuknya. Sisa makanan mereka menjadi rebutan rakyat. ”Di situ ada berkah dan harapan,” kata Saransi.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com