Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Laut ibarat Kulkas Raksasa

Kompas.com - 27/10/2013, 09:03 WIB
Oleh: Aswin Rizal Harahap dan Budi Suwarna

LAUT di perairan Sulawesi ibarat kulkas raksasa. Cukup melangkah ke pantai, orang sudah mendapat kerang. Bergeser beberapa puluh meter ke laut dangkal, orang bisa menangkap cumi-cumi dan ikan-ikan karang. Masyarakat Bugis-Makassar bisa berpesta makan ikan.

Nurdin (28) duduk santai di atas sampan yang ditambatkan di pantai Desa Punagaya, Kecamatan Bangkala, Jeneponto, Sulawesi Selatan. Dia bilang, sebentar lagi akan melaut di sekitar pantai. ”Tadi pagi sudah melaut. Sebentar saja dapat banyak cumi-cumi. Saya jual cumi-cumi itu Rp 80.000,” katanya, suatu siang pada pertengahan September 2013.

Tinggal di tepi pesisir selatan Sulawesi, mulai dari Takalar, Jeneponto, Bantaeng, hingga Bulukumba, sepertinya mudah. Jika ingin makanan laut, orang tinggal melangkah ke pantai. ”Kita pasti dapat kerang. Kalau mau makan cumi-cumi, tinggal bersampan 10 menit ke tengah laut dan menebar jala. Kalau ingin ikan sunu, lamuru, atau cakalang, tinggal bergeser beberapa puluh meter ke bagian laut yang lebih dalam,” ujar Nurdin yang sehari-hari bekerja sebagai buruh kasar.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Para petani memikul rumput laut usai di panen di Pantai Marina Desa Dorongbatu, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, Rabu (18/9/2013).
Seperti Nurdin, Muhammad Kasim (40) juga bukan nelayan. Ia adalah petani rumput laut di Dusun Puntondo, Kecamatan Mangarabombang, Takalar. Namun, ia hampir tidak pernah membeli ikan untuk kebutuhan makan sehari-hari. ”Kalau mau makan ikan, saya tinggal ambil di laut 4-5 ekor kemudian saya bakar di rumah,” ujar Kasim.

Laut sudah seperti kulkas raksasa yang menyimpan miliaran ikan lezat. Kapan orang perlu ikan, tinggal mengambilnya. Bahkan, anak-anak yang tinggal di sekitar pantai jika ingin ngemil mereka tinggal melompat ke laut untuk mencari kerang dan bulu babi. Isi kerang dan bulu babi itu lantas dimakan mentah-mentah. Rasanya ternyata memang enak. Gurih dan manis.

Tumpah ke darat

Di Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere, Makassar, kekayaan Laut Sulawesi dan sekitarnya seolah tumpah ke darat setiap hari. Ketika matahari belum muncul, kapal-kapal nelayan satu per satu merapat ke dermaga. Para nelayan kemudian menguras berton-ton ikan tangkapan yang memenuhi lambung-lambung kapal. Di antara mereka ada Daeng Jalla (41) beserta empat rekan kerjanya. Ia tampak senang karena tangkapan hari itu cukup baik. ”Cuaca sedang bagus. Ombak tak terlalu besar,” ujar pria yang mengarungi Selat Makassar selama sepekan itu.

Daeng dan teman-temannya lantas mengelompokkan ikan tangkapan berdasarkan jenis. Pekerjaannya berakhir, ikan lantas berpindah tangan ke Sangkala, juragan ikan yang memodali Daeng Jalla dan kawan- kawan berlayar. Ikan-ikan itu sebagian disisihkan untuk restoran yang berlangganan kepada Sangkala, sebagian lagi dijual di Pasar Ikan Paotere.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Aktivitas pelelangan ikan bandeng di Pasar Pangkejene, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, Rabu (10/9/2013). Pasar khusus ikan bandeng tersebut didatangi para pembeli dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan.
Sekitar pukul 07.00, lantai pasar telah penuh dengan beraneka jenis penghuni laut, mulai dari cumi-cumi, udang, kerang, pari, lamuru, kakap, cakalang, ikan layang, cepa, baronang, hiu, hingga ikan unik seperti kudu-kudu berwarna kuning terang. Calon pembeli mulai berdatangan dengan membawa keranjang besar. Tidak lama kemudian, aktivitas jual beli memuncak. Lantai pelelangan ikan riuh oleh suara penjual dan pembeli yang tawar-menawar. Mereka seperti kerumunan burung camar yang sedang memperebutkan ikan.

Hanya perlu waktu dua jam transaksi untuk meludeskan ikan yang dijual di sana. Menjelang sore nanti, aktivitas seperti itu berulang lagi. Dan, tempat pelelangan Paotere tidak pernah kehabisan ikan. ”Ikan selalu ada, hanya jenisnya yang berganti,” ujar Badrul, nelayan yang biasa mangkal di Paotere.

Setiap hari ikan yang tumpah di Paotere sekitar 70 ton. Ikan sebanyak itu mengalir ke pasar, rumah tangga, dan rumah makan seperti restoran nelayan dan restoran apong. Yuni, salah seorang pemilik restoran nelayan, mengatakan, setiap hari restorannya mendapat pasokan 500-700 ekor ikan dari Paotere dan Parepare. ”Ikan segitu selalu ludes terjual dalam sehari,” tambah Yuni.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Aktivitas pagi di Pasar Ikan Paotere di Makassar, Jumat (13/9/2013).
Haleng ”Apong” Wuisan, pemilik restoran apong, mendapat pasokan ikan dari 30 nelayan yang tersebar di Makassar, Tanakeke, dan Tanjung Bira. Hampir semua ikan lezat di Laut Sulawesi bisa kita temukan di sini, mulai dari sunu (kerapu), bolu (bandeng), ila, titang, baronang, papakulu, kaneke (kaci-kaci), cepa (kue), mangali, kudu-kudu, katamba, kakap merah, sukkang, salamata (kakap putih), lacukang, hingga tapi-tapi dan patikoli.

Ikan laut dalam yang sulit didapat seperti escolar atau gindara juga tersedia di sini. ”Ikan yang kami jual kira-kira jumlahnya 30 jenis. Belum lagi cumi, kepiting, dan udang kipas,” ujar Apong.

Setiap hari, kata Apong, ia menerima sekitar 500 kilogram ikan dari para nelayan. Itu di luar ikan laut dalam yang sulit diperoleh. ”Kalau ikan escolar, berapa pun yang mereka pasok, saya tampung,” kata Apong.

Ikan escolar yang panjangnya bisa mencapai 2 meter itu, dimasukkan Apong ke dalam lemari pembeku berkapasitas 5 ton. Di sanalah sebagian penghuni Laut Sulawesi lebih mudah kita temukan daripada di laut lepas.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Ikan Bandeng.
Ikan di perairan Sulawesi memang melimpah. Yang ditangkap tahun 2011 adalah 218.820 ton di luar ikan budidaya. Persediaan ikan yang banyak pada akhirnya membentuk budaya makan ikan yang kuat di kalangan orang Bugis-Makassar. Dinas Perikanan dan Kelautan Pemprov Sulsel mencatat konsumsi ikan masyarakat Sumsel tahun 2010 adalah 44 kilogram per kapita per tahun. Hampir dua kali lipat dari tingkat konsumsi ikan nasional yang hanya 23 kilogram-24 kilogram.

Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Nurhayati Rahman menjelaskan, ikan dalam kultur Bugis adalah makanan terhormat. ”Kalau makan tidak ada ikan, dianggap tidak ada siri’ (rasa bangga). Bisa diejek sama tetangga,” kata Nurhayati.

Karena ikan mengandung siri’, lanjut Nurhayati, orang banyak makan ikan. Satu ekor ikan hanya dimakan satu orang. ”Secara sosial, makan satu ikan ramai-ramai tidak diterima. Tangan kita bisa dicubit,” kata Nurhayati. (Be Julianery, Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com