Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kain Sumba Memesona Dunia

Kompas.com - 27/10/2013, 12:19 WIB
TIDAK sekadar indah, selembar kain tenun Sumba juga penuh makna. Relasi masyarakat dengan kain tenun Sumba dalam kehidupan mereka diawali saat kelahiran, disusul pernikahan, hingga akhirnya kematian. Sayang, keindahan kain Sumba justru lebih banyak dikagumi orang asing.

Sumba kain atau berarti juga kain Sumba merujuk pada hinggi, yaitu busana adat lelaki Sumba Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hinggi berbentuk lembaran empat persegi panjang dengan ukuran sisi terpanjang sekitar 250 sentimeter dan sisi terpendek 80-150 sentimeter.

Di Sumba Timur, sentra kain Sumba terdapat di sejumlah pesisir utara dan timur laut, yaitu di Kanatang, Kambera, Rindi, Umalulu, dan Mangili. Sementara di Sumba Barat, sentra kain Sumba, antara lain, terdapat di Kodi, yang tepatnya berada di Sumba bagian barat daya.

Apabila dahulu kain Sumba hanya dikerjakan kaum perempuan, saat ini banyak pula kaum lelaki yang terlibat dalam pembuatan kain Sumba.

Hal ini karena manfaat ekonomi dari kain Sumba yang semakin menguat. Pembuatan kain Sumba tidak sekadar menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Sumba, tetapi telah menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat di daerah tersebut.

Namun, seperti halnya persoalan di banyak tempat di Tanah Air, tidak banyak anak muda yang tertarik belajar membuat kain Sumba. Panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk membuat kain Sumba sulit dipenuhi anak-anak muda yang pada masa kini memiliki banyak tuntutan dalam hidup. Salah satunya adalah tuntutan untuk bersekolah.

Perajin kain Sumba dari Desa Rende, Kecamatan Rindi, Kabupaten Sumba Timur, Rambu Margaretha, mengatakan, saat ini pembuatan kain Sumba lebih banyak dilakukan orang dewasa. Saat ini bahkan banyak orang tua berusia di atas 70 tahun yang meneruskan tradisi menenun kain di Sumba.

”Orang-orang tua itu membuat kain Sumba tanpa perlu menggambar atau membuat sketsanya lebih dulu. Motif atau coraknya langsung dibuat pada saat menenun dengan cara diikat. Sekarang banyak yang tidak bisa seperti itu. Motif atau corak kain harus digambar lebih dahulu di atas kain, baru kemudian diikat,” tutur Rambu.

Proses pembuatan kain Sumba, dikatakan Rambu, memakan waktu cukup lama, tergantung dari kerumitan motifnya. Salah satu kain Sumba yang memiliki tingkat kesulitan tinggi adalah kain Sumba yang motifnya mirip kain patola dari India. ”Terlalu banyak yang diikat,” kata Rambu.

Harga kain Sumba juga dibedakan menurut jenis pewarna yang digunakan. Untuk kain Sumba yang menggunakan pewarna sintetis, dikerjakan selama 5-6 bulan, harganya Rp 500.000-Rp 1 juta. Sementara kain Sumba yang menggunakan pewarna alami, dikerjakan selama 8 bulan-2 tahun, harganya jauh lebih mahal dari kain Sumba dengan pewarna sintetis.

Dari tumbuhan

Umumnya, bahan pewarna alami diperolah dari tumbuhan yang ada di Sumba. Zat pewarna biru (kawaru) dibuat dari daun woru atau nila atau tarum (Indigo tinctoria). Adapun zat pewarna merah diperoleh dari akar kombu atau pohon mengkudu (Morinda citrifolia). Zat pewarna hitam diperoleh dari penggunaan lumpur.

Proses pembuatan kain Sumba melalui beberapa tahapan, yaitu pembuatan corak, pewarnaan, kemudian menenun.

Menurut Rambu, pewarnaan dilakukan rata-rata 3-4 kali dan maksimal 6 kali.

Corak kain Sumba dikelompokkan dalam tiga bagian, yakni kelompok figuratif yang merupakan representasi dari bentuk manusia dan binatang, kelompok skematis (menyerupai rangkaian bagan, cenderung geometris), serta kelompok bentuk pengaruh asing seperti salib, corak patola (India), dan naga (China).

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com