Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Laut Kita Jaya, di Meja Makan Kita Mulia

Kompas.com - 30/10/2013, 17:44 WIB
DUA jam lagi waktu subuh akan tiba. Langit di atas Pelabuhan Pendaratan Ikan Paotere berwarna gelap dengan sedikit taburan bintang. Di garis horizon, cahaya lampu kapal bagai titik-titik yang berkerlap-kerlip. Semakin lama, semakin mendekati pantai. Itulah kapal-kapal nelayan yang sedang mengejar waktu merapat ke dermaga.

Di dermaga Paotere, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa kapal nelayan telah tiba. Dini hari yang seharusnya senyap berubah menjadi riuh oleh teriakan anak buah kapal. Mereka bekerja cepat menguras berton-ton ikan malang yang terjebak di lambung kapal. Setelah itu, mereka bersejingkat menuju warung-warung yang masih menutup pintu rapat-rapat di pojok dermaga Paotere.

Tepat selepas azan subuh, warung-warung itu membuka pintunya sambil menebarkan aroma nasi dan aneka lauk. Salah satunya adalah warung milik Sakka yang menyediakan menu pallubasa ikan. Pallubasa adalah masakan semacam sup daging dengan taburan kelapa sangrai. Namun, di warung itu daging diganti dengan ikan.

Rupanya, pallubasa termasuk menu favorit di kalangan nelayan dan pekerja pelabuhan di Paotere. Selagi pelayan warung mempersiapkan makanan, para nelayan yang kelelahan telah menduduki hampir semua kursi panjang di dalam dan luar warung yang sempit itu. Sebagian yang tidak mendapatkan tempat harus antre untuk mendapat giliran bersantap selanjutnya.

Para nelayan dan buruh pelabuhan di Paotere itu adalah gambaran sempurna dari istilah ”kuat makan, kuat kerja” yang sejak lama berlaku terutama di kalangan kaum pekerja Bugis-Makassar. Antropolog dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Yahya, mengatakan, dahulu orangtua akan memilih menantu yang kuat makan. Karena itu berarti dia kuat kerja. ”Kalau sekarang, kebanyakan orang kuat makan sedikit kerja (fisik), ha-ha-ha,” ujar Yahya berseloroh.

Tidak perlu menunggu lama, berpiring-piring pallubasa ikan berpindah dari dapur warung itu ke meja makan panjang di hadapan para nelayan. Seporsi pallubasa berarti satu potong ikan lamuru atau kakap yang besarnya menyita hampir seluruh sisi piring berukuran sedang. Ikan itu seperti kapal karam di tengah kuah kuning yang dangkal.

Para nelayan menyantapnya dengan nasi putih yang masih mengepul. Sebagaimana kebiasaan orang Bugis-Makassar lainnya, mereka makan tanpa suara. Yang jelas, berpiring-piring pallubasa dan nasi putih tiba-tiba tandas tak bersisa hingga kuah-kuahnya.

Kami ada di antara mereka, duduk berimpitan di kursi panjang menghadapi sepiring pallubasa yang hangat. Kami menghirup kuahnya yang gurih dengan aroma bawang goreng, kunyit, dan kelapa sangrai yang kuat. Cita rasa gurih itu dibalut rasa asam dan pedas yang seimbang. Daging ikannya terasa sedikit manis dengan tekstur sedikit kesat. Tidak ada aroma amis sama sekali sebab ikan yang dimasak adalah ikan segar yang kadang diolah ketika masih menggelepar.

Di pagi yang masih muda dengan langit biru gelap dan rona jingga itu, kami sarapan dengan menu yang buat kebanyakan orang Indonesia cukup berat. Namun, begitulah tradisi makan Bugis-Makassar yang tidak lepas dari nasi dan ikan.

Daeng Nara (41), nelayan di Paotere, misalnya, setiap hari makan ikan. Pagi-pagi setelah melaut, ia menuju warung Sakka untuk menyantap pallubasa ikan. Setelah itu, ia membongkar ikan dari perahu dan melelangnya di pelelangan ikan. Ia selalu menyisakan beberapa potong ikan untuk dimasak di rumahnya sebagai lauk santap siang dan sore.

Seperti Daeng Nara, selera makan Mahmud, sopir yang menemani tim Jelajah Kuliner Nusantara Kompas, bangkit jika disodorkan ikan. Setiap waktu makan tiba di sela-sela perjalanan ke beberapa daerah di Sulsel, hanya ada satu menu yang selalu ia sentuh, yakni ikan bolu (bandeng).

”Pagi makang ikang bolu, siang ikang bolu, sore ikang bolu lagi. Kalau tidak makang ikang, saya lemas,” kata Mahmud sambil tersenyum. Seperti banyak orang Bugis-Makassar, Mahmud sering menukar bunyi huruf ”n” dengan ”ng” dan sebaliknya. Ikan menjadi ikang, makan menjadi makang, sebaliknya gunung menjadi gunun.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Nelayan menurunkan ikan hasil tangkapan untuk dijual di Pasar Ikan Paotere di Makassar.
Begitulah, yang dimaksud makan buat kebanyakan orang Bugis-Makassar adalah menyantap nasi dengan ikan sebagai lauk utamanya. ”Kalau (menyantap) coto, bakso, dan mi meski beberapa kali sehari, eee... itu bukan makang, itu cuma ganjal perut,” ujar Daeng Nara.

Lain hari kami bertanya kepada seorang anak-anak di Kota Makassar. Berapa kali kamu makan sehari, Nak? Dia menjawab, ”Tiga kali.”

Kalau makan coto atau baso berapa kali sehari?

”Eee... dua kali.”

Kalau begitu, kamu makan lima kali, Nak!

”Tidak, saya makan tiga kali!” kata anak itu bersikukuh. (Budi Suwarna dan Aswin Rizal Harahap)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com