Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Legitnya Ketan Suku Lembak di Bengkulu

Kompas.com - 10/11/2013, 10:27 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com — Makan ketan dalam masyarakat Suku Lembak di Provinsi Bengkulu menjadi acara wajib jika mereka menggelar syukuran pernikahan, akikah, dan beberapa ritual budaya suku ini. Beruntung Kompas.com sempat mengabadikan salah satu momen tersebut, bahkan mencicipi legit dan manisnya menu ketan suku ini.

Sebelum mengupas nikmatnya menu ketan tersebut, ada baiknya melihat secara garis besar dari rumpun mana Suku Lembak ini berasal. Dari beberapa literatur, Suku Lembak adalah bagian dari Suku Melayu, suku bangsa yang permukimannya tersebar di Kota Bengkulu, Bengkulu Utara, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Rejang Lebong, dan Kabupaten Kepahiang.

Suku Lembak di Kabupaten Rejang Lebong bermukim di Kecamatan Padang Ulak Tanding, Sindang Kelingi, dan Kota Padang. Di Kabupaten Kepahiang, Suku Lembak mendiami Desa Suro Lembak di Kecamatan Ujan Mas. Suku Lembak juga mendiami wilayah daerah Kota Lubuk Linggau dan Kabupaten Musi Rawas di Provinsi Sumatera Selatan.

Suku Lembak ditengarai tinggal di Bengkulu sejak abad keenam. Sejarah Suku Lembak tidak terlepas juga dari beberapa kerajaan di Palembang, Sumatera Selatan. Layaknya suku lain, Suku Lembak memiliki bahasa yang unik antara masyarakat Lembak dan masyarakat Bengkulu pesisir (kota). Terdapat perbedaan dari segi pengucapan kata yang untuk masyarakat Bengkulu kata-katanya banyak diakhiri dengan huruf "o", sedangkan masyarakat Lembak banyak menggunakan huruf "e". Di samping itu, dalam beberapa hal, ada juga yang berbeda cukup jauh.

Salah satu kebudayaan suku ini adalah budaya manggil berasan, yakni undangan kepada sanak famili menjelang gelar hajatan. Kebiasaan suku ini, jika salah satu pihak memiliki hajatan, maka mereka akan mengundang sanak famili dan tetangga. Undangan manggil berasan ini dimulai oleh tuan pemilik hajat untuk menyampaikan maksud dan tujuan menggelar hajatan.

Kompas.com berhasil merekam hajatan gelar pernikahan antara Rina Apriani dan Heru Satria, di Kota Bengkulu. Layaknya kehidupan masyarakat tradisional menjelang mengundang, para kaum ibu dan bapak menyiapkan masakan yang dikenal dengan makan ketan. Memasak ketan ini dilakukan secara bergotong royong, tidak ada transaksi bisnis di sana.

Untuk 50 tamu undangan manggil berasan, tidak kurang dari 20 kilogram ketan dihabiskan, serta gula merah dan beberapa butir kelapa tua. "Dalam setiap acara manggil berasan, tuan rumah dari Suku Lembak wajib menyiapkan menu makan ketan," kata Demon, salah seorang masyarakat Suku Lembak, Sabtu (9/11/2013).

Ketan akan dimakan pada saat acara manggil berasan selesai. Seuai rapat panitia pembagian kerja pada saat pernikahan, tuan rumah akan menghidangkan ketan yang telah dimasak ke dalam piring. Ketan itu tidak sendiri, tetapi ditemani kuah yang terbuat dari gula merah dan santan sebagai penikmat hidangan. Ketan berwarna putih akan bercampur dengan kuah berwarna seperti cokelat susu.

KOMPAS.com/Firmansyah Tamu undangan mencicipi makan ketan, makan ketan merupakan menu wajib masyarakat suku lembak di Bengkulu, jelang hajatan, seperti pesta pernikahan, akikah dan lainnya.
Aroma wangi ketan dan bau gula merah tercium nikmat tatkala pemilik hajat mulai menghidangkan makanan tersebut. Saat ketan dan kuah gula merah itu disantap, maka sensasi manis dan legitnya ketan akan menari, mulai ujung hingga pangkal lidah. Menu ketan ini akan semakin nikmat tatkala acara tersebut bertepatan dengan musim buah durian.

"Kuah ketan yang terbuat dari gula merah dan santan kelapa itu akan semakin nikmat jika dicampur dengan daging buah durian. Sensasi luara biasa," tambah Demon.

Perlahan tapi pasti, diselingi obrolan para tetua dan tamu undangan, sesendok demi sesendok ketan dan kuahnya berpindah ke dalam perut. Beberapa tamu undangan tampak mohon kepada tuan rumah untuk mengeluarkan lagi makanan itu sekadar untuk tambah.

Beberapa anggota masyarakat mengatakan, makan ketan seperti sekarang sudah mulai hampir ditinggalkan, apalagi masyarakat sekarang jika memiliki hajat karena telah menyerahkan acara kepada penyelenggara alias EO. "Sekarang ini sudah mulai ditinggalkan. Jadi, si pemilik hajat terima beres," kata Sulaiman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com