Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tamasya ke "Batavia Kecil" di Desa Lebong Tandai

Kompas.com - 01/12/2013, 10:38 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

EMAS di Tugu Monumen Nasional (Monas) di Jakarta merupakan umbangan pengusaha Aceh yang diambil dari Desa Lebong Tandai, Kecamatan Napal Putih, Bengkulu Utara. Batavia kecil adalah nama lain untuk kawasan Lebong Tandai yang digunakan Belanda ketika menjarah lokasi tambang emas di wilayah itu. Dulunya, wilayah tersebut pernah menjadi incaran banyak pihak, Portugis, Inggris, Belanda, Cina dan Jepang. Bahkan, setelah Indonesia merdeka pun, investor tetap mengincar lokasi tersebut.

Seperti apa sejarah Lebong Tandai? Untuk menuju lokasi penambangan emas di Desa Lebong Tandai, Anda dapat memilih rute Kota Bengkulu-Napal Putih. Perjalanan dari Kota Bengkulu memakan waktu sekitar 4 jam dengan menggunakan angkutan pribadi menuju Desa Air Tenang, di mana di desa ini terdapat Stasiun Molek yang mengoperasikan kereta mini.

Perjalanan dengan menggunakan Molek menuju Lebong Tandai dilakukan pagi hari. Biasanya, para masinis Molek memilih berjalan beriringan, tujuannya untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan. Perjalanan menjelang saat pagi hari memberi kesan tersendiri terutama bagi mereka yang menyukai wisata alam karena. Pasalnya, para penumpang bisa melihat hutan di kanan kiri kereta.

Dalam perjalanan, jangan lupa membawa bekal makanan ringan dan minuman karena perjalanan ini cukup panjang menempuh rel sepanjang 35 km. Dalam perjalanan menyusuri rel, penumpang juga disuguhi dengan hamparan hutan yang masih asri.

Sebelum tiba di Desa Lebong Tandai, penumpang akan melewati areal yang dinamakan Ronggeng, Sumpit, Lobang Batu, Muaro Lusang, Gunung Tinggi, Kuburan Cina, Sungai Landai, Lobang Panjang, Lubang Tengah, Lubang Pendek, Lebong Tandai. Untuk Lubang Panjang diperkirkan sepanjang 100 meter, Lubang Tengah (50 meter) dan Lubang Pendek (25 meter).

kompas.com/firmansyah kendaraan yang digunakan menuju Desa Lebong Tandai

Setelah melewati terowongan, penumpang tiba di Desa Lebong Tandai. Semua orang pasti akan takjub bercampur kagum ketika tiba di desa ini. Betapa tidak, setelah melewati perjalanan selama 6 jam dengan pemandangannya hanya hutan, serta aliran Sungai Ketahun di depan terbentang sebuah desa yang penuh dengan nuansa modern. Listrik terang-benderang dan tak pernah mati memancar dari setiap rumah dan sudut desa.

Penerangan ini diperoleh warga karena menggunakan listrik bertenaga air dari Sungai Lusang, dengan kapasitas dinamo 5.000 Watt. Oleh warga kincir air ini diberi nama Sumirot atau Si Uniyil Orang Tandai. Tenaga 5.000 Watt itu mampu menyalakan aliran listrik untuk 5 pemukiman warga, dengan 3 buah lampu dan satu televisi.

Hampir di tiap rumah memiliki televisi walaupun ukuran kecil, ditambah dengan parabola. Alat elektronik seperti TV, radio dan sejenisnya adalah salah satu hiburan bagi warga, yang hidup di daerah terpencil tersebut.

Berbicara tentang hiburan, memang tradisi itu sudah cukup lama tertanam di masyarakat. Pantas saja, Desa Lebong Tandai semasa itu disebut dengan Batavia Kecil. Dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, semua fasilitas di dalam desa tersebut sudah ada sejak dulunya. Hal ini ditandai dengan adanya bekas Perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau, milik kolonial yang masuk tahun 1890 ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini.

Kompas.com/Firmansyah Gerbang masuk di Desa Lebong Tandai.

Saat itu dibangun kamar bola atau tempat bermain biliar, lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning alias tempat lokalisasi, rumah sakit, landasan helikopter, minimarket dan bioskop. Hanya bangunan bioskop dan rumah kuning yang sudah tidak ada lagi. Namun, bangunan tersebut saat ini sudah menjadi inventaris desa setempat, yang ditandai dengan penghunian oleh warga setempat untuk bermukim.

Menurut tokoh masyarakat setempat, Supandi (51), Lebong Tandai disebut "Batavia Mini" atau "Batavia Kecil" sejak tahun 1951. Perusahaan Belanda waktu itu setiap tahun mendatangkan penari ronggeng dari Batavia (sekarang Jakarta). Hal ini dapat dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II.

Dinamakan jembatan Dam Ronggeng karena pada saat peresmiannya mengundang penari-penari ronggeng dari Batavia. Tradisi hiburan itu berlanjut hingga tahun 1970-an. Di desa ini ada 3 kelompok musik yaitu Anior, Trinada dan Puspa Ria. Seiring dengan perjalanan waktu, tahun 1981 hingga 1995, PT Lusang Mining mengelola tambang di Lebong Tandai. Saat itu hampir saja ada bar atau bangunan lokalisasi. Sebab, PT. Lusang Mining ingin menerapkan ‘Single Status’ (hidup di lokasi tambang tanpa boleh membawa istri).

"Semua peninggalan zaman Belanda masih ada di sini. Dan bangunan itu sudah menjadi inventaris desa. Boleh dihuni warga tapi tidak boleh di jual," kata Supandi.

Kompas.com/Firmansyah Makam Chow Yung, saudagar China yang berniaga ketika kawasan ini menjadi penghasil tambang primadona secara nasional di Desa Lebong Tandai.

Tidak hanya itu, pada tahun 1986 seluruh penduduk asli diungsingkan secara paksa oleh PT Lusang Mining. Dalam pengungsian tersebut, sebanyak 108 Kepala Keluarga (KK) ke Kecamatan Ipuh, Kabupaten Mukomuko dengan dibuatkan Trans di Desa Manunggal Jaya, Retak Ilir Kecamatan Ipuh, serta di Desa Karang Tengah, Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara.

Dalam pengungsian tersebut, warga memperoleh ganti rugi, dalam bentuk materi, uang, serta pembangunan permukiman. Hanya sedikit warga yang berani menolak menjadi peserta transmigrasi. Di antara warga yang menolak itu, adalah Mahyudin. Konsekuensinya mereka dan keluarganya harus mengalami tekanan yang cukup menyakitkan. Misalnya, dilarang menambang emas dan tidak boleh memakai fasilitas kereta Molek. Jadi mereka harus berjalan kaki melewati hutan jika ingin pergi ke luar desa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com