Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/12/2013, 12:48 WIB
SIANG itu, kain tenun Dayak ulap doyo di lantai kayu Lamin Melayu itu penuh makanan. Ikan tersaji di hampir semua pinggan. Tatapan mata tercuri pada sepinggan bina’k—masakan khas suku Dayak Tunjung, juga berpinggan-pinggan ikan bakar sebesar dua telapak tangan orang, ikan jelawat bakar daun emperum’k.

Belum lagi ikan pepes daun empruk, pumni (sejenis sayur labu, umbut rotan, dan ikan baung), buras (lontong beras ditambah ikan gabus berkuah). Aroma pedas menguar dari sambal lumatan jaung (kecombrang), umbut rotan (pokok batang rotan muda), berbalur dengan wangi bawang merah, bawang rambut, cabai, dan ikan salai. Semua menebarkan aroma khas kecombrang dan cabai, menggugah rasa lapar di tengah keriuhan dalam lamin itu.

Makin memantik penasaran ketika Wakil Bupati Kutai Barat Didik Effendi bercerita tentang nasi sobot—nasi berbahan beras ladang berimbuh singkong dan dimasak dalam bungkusan daun gebok—yang ada di sana. ”Setiap memasak nasi sobot, orangtua kami selalu bilang rasanya lebih enak. Padahal, waktu itu beras sulit, ha-ha-ha,” kata Didik di sela-sela perjamuan itu.

Aah, begitu lidah mengecap nasi sobot dan sambal ikan salai itu, rasa segar dari jaung berpadu rasa pahit lembut dari umbut rotan, tak bisa berhenti kita melahapnya. Saat mencicipi bina’k, yummm, kuahnya padu memilin rasa asam dari terung asam dan buah lakum’p yang unik dengan rasa pedas cabai dan bawang putih. Lakum’p, buah ungu dari sejenis pohon rambat yang tumbuh menyemak di sepanjang aliran Mahakam, punya rasa asam dan sepat yang khas.

Helmyana Rosanti Aminuddin, Ketua Dharma Wanita Persatuan Kutai Barat, sang empunya hajat perjamuan, tersenyum dengan kegirangan saat orang bersantap ikan bina’k. ”Ini masakan khusus yang biasanya hanya disajikan dalam acara-acara pernikahan di suku Dayak,” bisik Helmyana.

Rupanya, kuah yang memesona lidah itu sari pati dari beragam bumbu. Bina’k diramu dari ikan patin bersama jahe, kunyit, bawang putih, bawang merah, serai, terung asam berikut buah lakum’p dan bawang rambut dimasukkan ke buku bambu sepanjang 50-60 sentimeter, lalu ditutup dengan daun kecombrang. Panggangan bara api selama paling sedikit enam jam membuat sari pati daging ikan dan beragam bumbu itu berpadu menjadi kuah lezat bina’k.

Lain lagi dengan cita rasa ikan jelawat bakar daun emperum’k yang dimasak dari ikan jelawat ”raksasa” itu. ”Ini kita pilihkan yang tidak terlalu besar,” kata Lilik Hermanudin, pengurus Dharma Wanita Persatuan Kutai Barat, yang menjadi juru masak beragam masakan ikan sungai itu. Konon, ikan jelawat disebut besar kalau bobotnya mencapai puluhan kilogram, waah….

Jelawat bakar dengan siraman daun emperum’k, ini menu kreasi baru, disajikan dengan taburan irisan bawang merah dan cabai. Rasa asamnya yang menyegarkan itu pun perpaduan beragam bumbu lokal Kutai Barat.

Begitu pula hidangan penutupnya, bubur jagaq, yang berupa bubur biji-bijian sejenis rumput ilalang yang ditanam di sela-sela padi di ladang. Diimbuhi gula aren dan santan, sajian bubur jagaq menyerupai bubur merah di Jawa. Hal berbeda adalah sensasi rasanya yang kesat, dengan buliran bijinya yang disaring kasar sehingga meninggalkan rasa berpasir.

”Dulu, jagaq menjadi makanan pokok masyarakat Dayak apabila panen padi ladang gagal. Jagaq memang biasanya dipanen setelah panen padi ladang usai. Kini jagaq semakin jarang ditanam bersama padi karena jagaq hanya bisa ditanam satu kali dalam setahun. Kami kini berusaha membuat kebun tersendiri untuk menanam jagaq,” kata Helmyana.

Perjamuan di Lamin Melayu di kompleks Taman Budaya Sendawar menghadirkan tradisi pangan masyarakat Dayak di Kalimantan, yang memang berbasis pada ikan sungai dan padi ladang. Tak hanya menjadi basis tradisi pangan, sungai juga menjadi poros kehidupan dan tumbuh kembang peradaban di Kalimantan.

Kerajaan Kutai (Mulawarman) pada abad ke-4 Masehi disangga oleh melimpahnya pangan dari Sungai Mahakam. Pusat kerajaannya, yang diperkirakan berada di wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, ada di tepian Sungai Mahakam. Situs Mulawarman terletak di sebuah bukit kecil yang tak begitu sulit dijangkau dari tepi sungai.

Inskripsi pada beberapa yupa memberikan informasi bahwa pada masa kerajaan Hindu pertama di Nusantara itu telah dikenal huruf pallawa yang dikenal luas di India. Hubungan antara Kutai (Mulawarman) dan dunia luar, yakni India, memanfaatkan Sungai Mahakam sebagai urat nadi menembus pedalaman menuju dunia luar.

Direktur Center for Social Forestry Universitas Mulawarman Ndan Imang dan peneliti sosial dari Universitas Mulawarman, Martinus Nanang, menuturkan, sungai selalu menjadi basis permukiman orang Dayak. Nanang yang berdarah Dayak Benoaq menyebut permukiman orang Dayak selalu mendekat secara sejajar dengan sungai, menjadikan sungai sebagai sumber dari lalu lalang kehidupan.

Imang menyebutkan, pada masa silam, menembus hutan raya jauh lebih sulit ketimbang melayari sungai.

”Sejak masa silam, pencarian garam dan minyak selalu mendorong masyarakat Dayak di Kutai membuka hubungan dengan orang Melayu Kutai, Bugis, dan tentu dengan orang Banjar di Kalimantan Selatan. Sungailah yang menyatukan Kalimantan,” tutur Imang.
(Aryo Wisanggeni G/C Anto Saptowalyono/Putu Fajar Arcana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com