Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beras, Kisah Sang Penghubung

Kompas.com - 11/12/2013, 08:45 WIB
SEBAGAIMANA sebagian besar dari kita, masyarakat adat Dayak mengandalkan padi sebagai pangan utamanya. Padi diyakini diturunkan dari dunia atas kepada manusia Dayak di dunia tengah yang fana dan selalu menjadi media untuk menautkan dunia tengah yang fana dengan dunia atas yang kekal.

Dalam kerumunan kerabatnya, Isam Neneng Minggu Siang (41) duduk di tanah, tangannya merengkuh kain merah yang membuntal tengkorak dan tulang belulang ayahnya. Siang pada akhir Oktober itu, Isam dan kerabatnya mengambil tengkorak dan tulang belulang Minggu Siang dari sandung (kotak bentuk rumah tempat penyimpanan tulang jenazah) lamanya di Desa Tanjung Taliuk.

Sang ayah yang wafat pada 10 Januari 1987 dan sandung di Desa Tanjung Taliuk dibuat pascaupacara tiwah (upacara penghormatan jenazah orang Dayak) pada 7 Juli 1990 itu kini semakin sering terendam banjir Sungai Kahayan. Anak- cucu Minggu Siang membangun sandung baru di Desa Bukit Pinang, Panarung, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Seorang perempuan mengurapi wajah Isam dengan bedak putih, membuat tertawa para kerabat. Mereka berebut bedak, saling mengurapi wajah lainnya. Rohaniwan Kaharingan yang memimpin upacara mamindah tulang itu, Berto Bapa Ason, memerciki tulang belulang Minggu Siang dengan air bercampur minyak wangi. Anak-cucu Minggu Siang kemudian memasukkan uang kertas dan uang koin dari beragam mata uang seperti menyerahkan bekal agar Minggu Siang berkecukupan di sandung barunya itu.

Setelah memasukkan tulang belulang ayahnya, Isam pun menutup atap sandung beton yang dibangun setinggi sekitar 2 meter itu. Ia lantas melangkahi sandung itu, menyeberang ke sisi lain sandung. Kerabatnya, juga ibunya, antre menyusul memanjati sandung dan melangkahinya. Berto menunggu di balik sandung dengan membawa semangkuk beras. Tiap kali anak-cucu Minggu Siang menjejak tanah, Berto mengucurkan sejumput beras ke ubun-ubun mereka.

”Beras ditaruh kepala dengan maksud supaya roh mereka yang hidup tidak tertinggal di dalam sandung. Beras juga ditaburkan di awal prosesi pengangkatan tulang dari sandung lama. Melalui beras itu, kita memberi tahu arwah dan roh tentang maksud kita. Menurut kepercayaan orang Kaharingan, beras adalah alat untuk menyampaikan apa pun tujuan kita,” tutur Berto.

Masyarakat adat Dayak meyakini beras diturunkan dari dunia atas ke dunia tengah demi kemakmuran manusia. Sebuah legenda yang mengisahkan padi terukir di atap betang (rumah tradisional) Toyoi di Tumbang Malahoi, di tepian Sungai Baringei, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Ukiran itu menggambarkan seorang lelaki menembakkan peluru dum-dum ke arah seekor burung tambadirang. Ukiran di sisi bawah genteng kayu betang yang dibangun Toyoi lebih dari seabad silam itu unik lantaran proporsi bulir padi yang sangat besar, sebesar badan lelaki pembawa senapan dum-dum.

”Ukiran itu dibuat ketika rumah betang ini dibangun bersama sembilan ukiran lain,” kata Animar Nanyan Toyoi (57). Animar adalah cicit dari Toyoi, sang pendiri tumbang yang kini ditempati enam keluarga cucu-cicit Toyoi.

”Bulir padi dalam ukiran itu berukuran besar karena, menurut cerita nenek moyang, padi dari dunia atas ukurannya besar. Jika dijemur, kulit gabahnya mengelupas sendiri dan berbunyi tik… tik… tik… sehingga manusia tak perlu bekerja keras untuk mendapatkan berasnya. Suatu hari, seorang buta berjalan dan mendengar bunyi tik… tik… tik…. Si buta mengira suara gabah mengelupas itu suara ayam mematuki gabah. Orang buta itu memukul-mukuli padi dengan tongkatnya. Padi marah dan menyumpah bahwa manusia harus bekerja sangat keras untuk mendapatkan berasnya,” tutur Animar.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG Bahan masakan di Tumbang Manggu, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.
Sejak saat itulah, sesuai legenda yang dituturkan Animar, padi mengecil dan membuat manusia bekerja keras untuk mendapatkannya. Kerja keras dijalankan dengan segenap penghormatan kepada padi, sebagaimana dijalani para peladang Desa Tumbang Manggu, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Minggu (27/10/2013).

Lima laki-laki berjalan mendaki bukit landai itu. Pada setiap langkahnya, mereka menombak atau menugal tanah yang hitam berarang itu. Puluhan perempuan yang membawa kantong plastik atau tas kecil mengekor di belakang mereka, menyawar atau menabur berbulir-bulir gabah benih di tiap lubang tugalan. Celoteh dan tawa terdengar di antara mereka yang bergotong royong di ladang Zaenuddin itu.

Persis di tengah ladang, ditaruh humpun bini atau poros ladang yang terdiri atas sejumlah tumbuhan, seperti sawang yang berdaun kemerahan, dawen sambelum atau cocor bebek (dianggap membawa kesuburan karena daunnya menumbuhkan daun baru), juga pohon kejunjung, biji pinang, dan telur ayam penghindar mara bahaya. Tertancap pula sepotong bambu yang buku bambunya penuh air.

”Bambu itu juga berisi pasir dan air sungai agar panenan mengalir seperti air sungai yang tidak ada habisnya. Air dalam buku bambu itu untuk minum dan mandi padi. Seperti manusia, padi juga minum dan mandi,” ujar Mariani (40).

Mariani, yang hafal berjenis-jenis benih padi ladang, dipilih menjadi pembagi benih. ”Di ladang ini sedang ditanam parai indang gutuk, tabakang, pulut atau ketan bacei. Ini yang terbaik,” tangannya menunjukkan gabah pendek gemuk. ”Busun humbut atau beras merah yang harum dan hanya mengandung sedikit gula. Ini parai terlezat,” kata Mariani. (Aryo Wisanggeni G/C Anto Saptowalyono/Putu Fajar Arcana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com