Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/12/2013, 16:35 WIB
MESKI tradisi sungai dan berladang masih dijalani masyarakat adat Dayak, Kalimantan semakin tak ramah terhadap anak-anaknya. Tradisi bersantap yang berbasis tradisi sungai dan padi ladang itu terancam oleh kehancuran lingkungan yang hadir seperti lingkaran setan tanpa putus di Kalimantan.

Lampit atau tikar anyaman rotan yang membentang di dapur betang (rumah tradisional Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah) Bintang Patendu mengumbar aroma pedas dan asam dari dua cobek berisi sambal terung asam tanah dan sambal rimbang bulu. Juga rebung bambu berbumbu daun sangkai, tumbukan daun singkong yang juga berbumbu daun sungkai, ikan baung goreng, tempe, juga ayam goreng.

Si empunya betang budaya Bintang Patendu, Syaer Sua U Rangka, belum lega melihat banyaknya hidangan itu. ”Mana ikan saluangnya.” Ia bertanya ke arah pintu belakang dapur, selasar terbuka yang terhubung dengan sebuah bilik perapian yang baranya sedang memanggang beberapa batang bambu berisi ikan saluang (sejenis ikan teri tawar yang berasa gurih). Yulinda Syaer Sua, putrinya, bergegas membongkar salah satu batang bambu, menumpahkan isinya ke piring.

Sekejap, piring itu penuh ikan saluang yang kuyup berbalur bumbu yang kekuningan. Uap air yang terperas dari saluang dan aneka bumbu berkepulan, harum dan mengundang selera. ”Ini ikan saluangnya, jangan malu-malu bersantap, ya,” kata Yulinda, menyorongkan piring itu ke tengah lampit.

Di Palangkaraya, saluang lebih kerap disajikan dengan cara digoreng dan rasanya sungguh gurih. Ketika kami mencicipi saluang di betang Syaer, daging ikan teri sungai itu lembut dan basah, gurihnya pun tak kalah, ditimpali sambal rimbang bulu pedas dan segar, hmm...

”Kalau memakan ikan saluang basah, ada cara menyantapnya. Kepala saluang harus masuk dulu ke dalam mulut. Kalau terbalik, durinya akan terurai dan menyangkut di tenggorokan,” kata Syaer.

Sambil bersantap, Syaer bercerita tentang bagaimana ia membangun rumah betangnya, rumah panggung setinggi 6 meter yang dibangun pada 2005 hingga 2008. Puluhan kayu ulin berdiameter sekitar 1 meter menyangga panggung yang total luasnya mencapai 390 meter persegi, terbagi menjadi bangunan utama (171 meter persegi), karayan atau selayar (84 meter persegi), dan dapur (135 meter persegi). Sebuah betang lain, seluas 530 meter persegi, juga dibangun Syaer pada 2002-2003.

”Ada banyak rumah betang di Kalimantan Tengah, tetapi hanya dua betang inilah yang dibangun pasca-kemerdekaan Republik Indonesia. Orang lain tidak lagi mau membangun rumah betang, manusia Dayak semakin meninggalkan rumah betang, seperti mereka semakin meninggalkan jati dirinya sebagai orang sungai,” tutur seniman karungut (sastra lisan berupa pantun yang dilagukan) itu.

Syaer nyaris selalu gelisah tentang nasib tradisi sungai masyarakat adat Dayak. Ia bahkan menciptakan syair karungut tentang kehancuran alam Kalimantan yang membuat masyarakat adat Dayak semakin jauh dari sungainya. Syair karungutnya, ”Jadi Penonton”, berkisah tentang orang Dayak yang hanya jadi penonton berbagai eksploitasi hasil alamnya.

”Sepuluh tahun lalu, di Sungai Baraoi, Kabupaten Katingan, saya masih menangkap ikan sapaan sebesar betis. Ikan itu tak ada lagi gara-gara pendulangan emas di Kecamatan Petak Malai. Di Kecamatan Sanaman Mantikei, pendulangan emas membuat air sungai seperti kopi susu. Ikan juga semakin hilang gara-gara tukang setrum ikan. Kalau dahulu kami menangkapi ikan di sungai, sekarang kami membeli ikan sungai tangkapan para penyetrum atau membeli ikan budidaya di karamba,” ujar Syaer.

Di betang Toyoi yang menyimpan legenda padi di Kabupaten Gunung Mas, Animar Nanyan Toyoi dan putranya, Supandianto (30), juga gelisah karena di Sungai Baringei kian jarang ikan. ”Penambangan emas mengeruhkan air Sungai Baringei, lumpur tambang emas dibuang ke sungai. Regu penambangnya ratusan, air keruh sepanjang aliran sungai. Kami sekarang membeli ikan dari karamba di Palangkaraya,” kata Supandianto, mengisahkan ironi Palangkaraya menyangga Desa Tumbang Malahoi.

Kelezatan dan orisinalitas masakan khas Dayak di Kalimantan Timur juga tinggal selangkah menjadi sejarah. Ahmad Murjani (70), perajin kerupuk belida di Muara Pahu, Kutai Barat, kian sulit mencari belida. Lima pekerjanya di Kampung Tanjung Laung cuma bisa mengolah 50 kilogram ikan belida per bulan. ”Padahal, dulu satu ikan belida beratnya bisa mencapai 10 kilogram,” ujar Ahmad.

Penetrasi pedalaman oleh kekuatan industri pertambangan makin menjadi. Sungai Mahakam setiap hari dilintasi kapal pengangkut batubara. Pada saat bersamaan, muncul pula perkebunan kelapa sawit di sejumlah wilayah pedalaman. Kedua industri besar ini hampir selalu memanfaatkan aliran sungai untuk berbagai kepentingan. Pelan tetapi pasti, kualitas lingkungan, terutama air baku di Mahakam, merosot.

”Dulu sungai ini bersih dan banyak ikan, sekarang sulit cari air minum,” tutur Roni, nenek berusia 65 tahun dari suku Dayak Benoaq, di Kampung Mancong, sebuah kampung di pedalaman Kutai Barat. Ia seharian menunggu air bersih yang cuma menetes dari keran air di samping rumahnya. ”Sekarang sungai jadi merah dan berminyak,” lanjutnya.

Kerusakan hutan dan sungai akibat pertambangan rakyat tidak lepas dari perubahan cara pandang masyarakat adat Dayak akan hutan dan alamnya. Presiden Majelis Adat Dayak Nasional Agustin Teras Narang mengatakan, 40 tahun lalu Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah penyuplai kayu terbesar, yang dikirim dalam bentuk gelondongan besar.

Gelombang kemakmuran industri hak pengusahaan hutan (HPH), menurut Teras, mengubah pola pikir warga Kalimantan Tengah. ”Sejak tahun ’80-an, masyarakat sudah tak pikir lagi menanam. Mereka hanya berpikir menebang dan mendapatkan uang. Cara berpikir seperti itu berlangsung selama 40 tahun, membuat mereka semakin lupa bahwa mereka juga harus menanam,” katanya. (Aryo Wisanggeni G/C Anto Saptowalyono/Putu Fajar Arcana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com