Siapa tahu ada di antara mereka ada yang mau menekuni gandrung sebagai pilihan hidup berkesenian dan bukan sekadar ikut menari,” demikian harapan Temu dan Suparmiati, baru-baru ini.
Temu, Suparmiati, juga Supinah (55) merupakan penari gaek tari gandrung yang setia dengan budaya lokal masyarakat Banyuwangi. Mereka ikut meramaikan Paju Gandrung Sewu, di antara 1.053 pasang laki-laki dan perempuan, yang tampil di Banyuwangi Festival untuk mempromosikan Banyuwangi. Penari yang ikut, total 2.106 orang, belum termasuk penabuh gamelan dan pesinden, terdiri atas penari gandrung berusia 9-70 tahun. Mereka berasal dari SD hingga perguruan tinggi.
Asal-usul gandrung
Gandrung berasal dari kata gandrung, yang dalam bahasa Banyuwangi berarti ’tergila-gila’ atau ’cinta berat’ menurut anak-anak Jakarta. Kalau di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat ada tayub atau di Jawa Barat ada ketuk tilu, di ujung timur Pulau Jawa ada seni gandrung.
Menurut budayawan Banyuwangi, Hasnan Singadimayan, gandrung wadon (perempuan) pertama kali muncul tahun 1895 dan diawali dengan gandrung Semi, yang saat itu baru berusia 10 tahun. Awalnya, anak Mak Midhah itu sakit dan beragam upaya dilakukan agar sembuh. Akhirnya Mak Midhah bernazar, ”Kadung sira waras, sun dhadheaken seblang. Kadung sing ya osing" (Kalau kamu sembuh, aku jadikan seblang—penari gandrung dengan mahkota dari dedaunan. Kalau tidak sembuh, ya tidak). Konon Semi akhirnya sembuh dan dijadikan seblang untuk menghibur warga.
Hasnan menambahkan, gandrung perempuan itu juga diikuti saudara Semi yang lain dan dipentaskan dengan nama panggung gandrung. Kesenian gandrung wadon akhirnya berkembang menjadi ikon Banyuwangi.
Gandrung awalnya hanya boleh ditarikan keturunan penari gandrung. Namun, sejak 1970-an, banyak gadis mempelajari gandrung lalu menjadikannya mata pencarian hidup seperti ronggeng. Jika para penanggap seni gandrung itu sepi, para penari biasanya beralih lagi menjadi buruh tani.
Hadapi persaingan
Temu sendiri mulai belajar tari gandrung sejak tahun 1969 saat berusia 15 tahun. Saat ini, tambah Temu, gandrung menghadapi persaingan dengan elekton dan jenis musik lainnya. ”Sekarang ini susah mencari anak muda yang bisa olah vokal dengan cengkok gandrung. Kalau mencari penari gandrung, cukup banyak,” keluhnya.
Hal yang sama diungkapkan Suparmiati, yang mulai menekuni tari gandrung sejak tahun 1980-an. ”Sekarang ini sulit mencari gandrung profesional karena harus bisa menyanyi dan menari,” ujar warga Boyolangu, Kecamatan Giri, yang sering mendapat panggilan menari di hajatan warga Using (sebutan bagi suku asli Banyuwangi), ini.
Tampil semalam suntuk, tarif penari gandrung terbilang cukup lumayan, yaitu Rp 3,5 juta-Rp 6 juta. Dari tarif itu, seorang gandrung biasanya dapat bagian 10 persen. Sementara 90 persen lainnya dibagi untuk kas kelompok seni gandrung dan pemain musik pengiring. ”Paling tidak, seorang gandrung bisa dapat Rp 250.000-Rp 300.000 sekali pentas. Padahal, kami ini harus menjaga suara agar tetap bagus dengan minum jamu, terutama popoh (gurah),” lanjut Suparmiati.