Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Brem Jadi Pengungkit Ekonomi Rakyat Madiun

Kompas.com - 23/12/2013, 16:41 WIB
KABUPATEN Madiun, Jawa Timur, sejak dahulu menjadi daerah lintasan bagi masyarakat yang bepergian ke Surabaya, atau ke Solo di Jawa Tengah. Di Madiun, pelancong bisa membeli oleh-oleh khas berupa brem yang sudah melegenda sejak zaman Belanda. Penganan dari fermentasi beras ketan ini pun mampu menjadi pengungkit ekonomi masyarakat.

Matahari baru keluar dari peraduannya, Rabu (11/12/2013). Namun, sejumlah perempuan di Desa Kaliabu, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun, telah riuh beraktivitas. Sebagian menyongsong terbitnya sang surya dengan menjemur brem.

Brem dengan potongan berbentuk persegi panjang itu diletakkan di atas tempat anyaman bambu. Potongan brem ditata rapi supaya mendapat penyinaran matahari yang rata.

”Hampir sebagian besar produsen mengandalkan sinar matahari (untuk pengeringan) karena gratis. Prosesnya juga cepat sebab hanya memerlukan waktu maksimal tiga hari,” ujar Dian Handayani (35), pekerja.

Madiun merupakan salah satu daerah penghasil brem di Tanah Air. Brem juga dihasilkan di Wonogiri, Jawa Tengah, serta di Bali dan Nusa Tenggara Timur. Setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri. Brem Madiun, misalnya, berwarna kuning keemasan, sedangkan brem Wonogiri berwarna putih.

Pusat produksi brem di Madiun berada di Desa Kaliabu, Kecamatan Mejayan dan Desa Bancong, Kecamatan Wonoasri. Di dua desa yang berlokasi di daerah Caruban ini, terdapat rumah-rumah produksi brem yang dikelola oleh industri rumahan dengan skala usaha mikro kecil dan menengah.

Sejumlah pengusaha mengatakan bahwa pembuatan brem sudah ada sebelum Belanda menjajah bumi pertiwi. Resep dan cara pembuatan brem diwariskan turun temurun. Bedanya, zaman dulu brem dijual tanpa merek. Kini, pengusaha melabeli produknya untuk memudahkan promosi dan menggaet pembeli. Di Madiun, sebagian besar merek brem menggunakan nama suling seperti Suling Mas, Suling Gading, Suling Mustika, dan Suling Istimewa.

Tradisional

Sani Sugiyo (50), salah satu pengusaha brem, mengatakan, hampir semua pelaku usaha masih memproduksi brem secara tradisional. Beras ketan dimasak. Setelah matang didinginkan dan diberi ragi, kemudian didiamkan beberapa hari. Setelah menjadi tape ketan, kemudian diperas dengan alat khusus untuk diambil air atau sarinya.

”Proses berikutnya, air ketan dimasak dengan dicampur bahan khusus. Setelah matang, didinginkan di atas cetakan hingga menjadi brem. Baru kemudian dijemur,” ujarnya.

Setiap hari, Sani mampu memproduksi 100 kilogram brem. Selain dibantu keluarga, dia juga dibantu tiga karyawan yang diberi upah Rp 30.000 per orang per hari. Dalam sebulan rata-rata karyawan menerima Rp 900.000, hampir setara dengan upah minimum Kabupaten Madiun tahun 2013 sebesar Rp 960.000 per bulan.

Brem yang sudah jadi, dijual secara grosir dengan harga Rp 15.000 per kilogram. Pembelinya para pedagang bahkan pemegang merek tertentu. Merekalah yang mengemas produk itu dalam kardus kecil. Dari pedagang, brem dijual per kardus mulai Rp 11.000 hingga puluhan ribu rupiah tergantung banyaknya isi.

Omzet Sani sehari Rp 1,5 juta atau Rp 45 juta sebulan. Setelah dipotong biaya produksi dan upah pekerja, dia memperoleh margin sekitar 30 persen atau hampir Rp 15 juta per bulan. Penghasilan yang lumayan besar untuk kehidupan di pedesaan seperti di Desa Kaliabu.

Kepala Bidang Perdagangan Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Perindustrian Perdagangan dan Pariwisata Kabupaten Madiun Agus Sujudi mengatakan, industri pembuatan brem saat ini mencapai 60 unit usaha. Setiap usaha mempekerjakan sekitar 3-10 orang karyawan sehingga total tak kurang dari 500 orang yang bergelut di dalamnya.

Dengan asumsi per pekerja menjadi tulang punggung bagi keluarga, dan setiap keluarga beranggotakan tiga jiwa, maka 1.500 jiwa menggantungkan hidupnya dari usaha ini.

Brem Madiun juga menggairahkan usaha perdagangan dan jasa. Ini karena banyak produsen yang tidak menangani perdagangan, melainkan memilih berkonsentrasi terhadap kegiatan produksi.

Agus mengatakan, terdapat lebih dari 100 toko yang menjual brem secara khusus maupun bersama barang atau makanan lainnya. Itu belum termasuk pedagang asongan yang menawarkan brem di atas bus antarkota antarprovinsi dan dari satu gerbong kereta api ke gerbong lain.

”Untuk menggairahkan usaha, pembuat brem juga tidak berhenti berinovasi. Misalnya membuat varian rasa brem seperti rasa cokelat selain rasa aslinya. Belakangan ada juga pengusaha yang berhasil melakukan diversifikasi dengan memproduksi brem cair,” ujar Agus. Peluang pasar brem cair ini bagus. Banyak pesanan dari Pulau Bali.

Pemerintah daerah pun terus mendorong pengembangan usaha pembuatan brem ini, antara lain melalui pembinaan tentang manajemen keuangan. Kebijakan lain adalah bantuan untuk mempromosikan produk brem padat maupun cair. (Runik Sri Astuti)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com