Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Keris Obama di Ujung Madura

Kompas.com - 22/01/2014, 09:08 WIB
GERINDA dan pahat para empu keris terus berdentang di Desa Palongan, Sumenep, Madura. Di ujung ”Pulau Garam” itu, ragam keris lahir dari tangan para perajin yang lihai bermain dengan logam.

”Ini namanya keris dapur Nogo Siluman. Kepalanya naga, tetapi ekornya tidak jelas. Nah, yang ini keris Nogo Sosro karena ekornya jelas,” ujar Fathurrahman, Ketua Ikatan Pengrajin Keris Indonesia (IPKI) Megaremeng, Sumenep, sambil mengangkat dan memperlihatkan bilah-bilah tajam keris berpahat motif kepala naga. Dia sekadar mencontohkan bentuk dan tipe keris.

Di hadapannya berderet ragam keris, mulai dari yang setengah jadi hingga keris yang sudah jadi sempurna dengan bilah, pegangan, dan sarung telah berdandan ukiran. Di atas selembar kain putih, deretan keris itu berwibawa dan indah.

Seorang perajin keris lainnya, Hermanto (41), menuturkan, keris Madura memiliki ciri khas antara lain logam keris sangat keras dan pamornya agak seram. ”Keris Madura kesannya angker,” ujar Hermanto.

Pamor atau lapisan berpola acak atau figuratif yang tampak pada bilah keris ikut menentukan nilai sebuah keris. Kelebihan lainnya adalah kehalusan pahatan detail ornamen pada keris. ”Mau buat gambar apa saja bisa. Saya baru saja buat pahatan gambar Obama di pangkal keris. Pesanan kolektor dari Jakarta,” ujar Hermanto. Para empu di desa itu sanggup mencipta ragam keris, mulai dari gaya Jawa, Bali, hingga Bugis. Hermanto sengaja mengoleksi keris dari banyak daerah untuk menambah referensi.

Fathurrahman dan Hermanto adalah segelintir dari ratusan empu keris di Desa Palongan, Kecamatan Bluto, Sumenep. Fathurrahman mengatakan, pelaku budaya keris paling banyak di Kabupaten Sumenep tersebar di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Bluto, Saronggi, dan Lenteng Barat. Setidaknya ada 544 empu keris tersebar di 14 desa. Di Kecamatan Bluto saja terdapat 305 perajin. Sentra besar lainnya ialah Kecamatan Saronggi, terutama di Desa Aeng Tong Tong.

Sumenep pun lantas disebut-sebut sebagai produsen keris terbesar dengan empu terbanyak di Asia Tenggara. Keris memang bukan hanya milik kultur Jawa, melainkan juga meluas di kultur Melayu. UNESCO telah menetapkan keris Indonesia sebagai Karya Agung Warisan Kemanusiaan (Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 25 November 2005.

KOMPAS/INDIRA PERMANASARI Para perajin keris di Sumenep, Madura, Jatim.
Dari teras-teras rumah penduduk Desa Palongan terdengar raungan mesin-mesin gerinda yang tengah menghaluskan dan membentuk bilah keris pada pertengahan Desember lalu. Api memercik ketika perajin keris menggesekkan besi tipis ke gerinda. Ada pula perajin yang sedang memahat ornamen dengan alat pahat.

Jago olah logam

Keris melambangkan kemahiran mengolah logam. Untuk menghasilkan sebilah keris, butuh proses panjang. Potongan logam awalnya ditumpuk, biasanya dengan urutan: besi, nikel, baja di tengah, nikel, dan besi. ”Bahan tergantung pemesan, minta dibuatkan pola dan pamor seperti apa. Selalu ada besi. Kalau sama-sama baja, akan terlalu keras. Sulit untuk diukir,” ujar Fathurrahman.

Susunan ini lalu dibakar dan ditempa. Hasil tempaan itu lalu dilipat dan ditempa ulang. Di Sumenep, bahan awal keris disebut khodokan. ”Di Kecamatan Lenteng, banyak yang membuat tempaan awal atau khodokan. Yang dulunya bikin arit, diajari bikin keris,” ujar Fathurrahman.

Para empu atau pande alusan di Bluto dan Saronggi kemudian menggarap lebih lanjut detail keris. Bilah-bilah dibentuk berkelok (luk) atau lurus dengan bantuan gerinda atau alat pahat. Pangkal-pangkal keris diberi ornamen sesuai tipe keris klasik yang telah ada atau pesanan pelanggan. Setelah itu keris direndam dalam cairan walirang dan warangan demi mengeluarkan pamor. Ada juga pemesan yang ingin keris berkesan tua. Proses penuaan dengan bahan kimia butuh sekitar satu bulan.

”Satu buah keris dengan banyak detail, garapannya selesai kira-kira dua minggu. Itu saya bekerja mulai dari pagi hingga sore setiap hari,” ujar Hermanto.

Setelah itu keris dilengkapi dengan sarung (warangka) dan pegangan yang antara lain terbuat dari kayu bintaos, cendana, kemuning, sawo, mimba, dan asem. Harga sarung keris bergantung pada jenis kayu, mulai dari sarung kelas kodian dari kayu sawo seharga Rp 15.000 hingga sarung dari kayu cendana yang harganya jutaan rupiah.

Pemesan terkadang ingin melapisi kerisnya dengan emas. ”Mereka beli emasnya sendiri atau diserahi ke perajin. Emas 23 atau 24 karat yang sering dipakai. Tinggal tambah biaya emasnya saja,” ujar Hermanto.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com